Biah

Jebakan Setan untuk Orang Awam

Orang awam. Tentunya, kata ini sangat familiar di telinga kita. Kata awam diambil dari kata ‘am yang artinya umum. Orang awam maksudnya umumnya orang atau orang kebanyakan. Istilah ini mengarah pada mayoritas manusia yang jauh dari ilmu dan ulama. Sehingga, kualitas amal mereka tipis, setipis ilmu yang dimiliki.

Nah, apakah diri kita awam atau bukan?

Kebanyakan kita mendekatkan definisi awam pada orang-orang yang belum ikut pengajian tertentu atau belum ikut jamaah atau organisasi tertentu. Sedang kita, yang sudah ikut kajian rutin kitab ini bersama ustadz ini, kajian halaqah intensif ini, ikut organisasi keislaman ini dan itu, sudah tidak lagi merasa awam.

Sebenarnya sah-sah saja kita mengklaim demikian. Toh awam dan bukan awam hanyalah istilah yang tidak membawa implikasi dan konsekuensi yang berarti. Artinya, awam atau bukan, beban kewajiban syariat sama dan pahala/dosa yang dijanjikan juga tidak berbeda. Hanya saja, kadangkala kita merasa bahwa kita lebih baik dari mereka, orang awam pada umumnya. Jika begini, ada baiknya kita merenungi apa yang disampaikan Ibnul Jauzi dalam kitabnya “Talbisul Iblis”. Dalam salah satu bab, beliau memaparkan bagaimana tentara Iblis memperdayai awamun nas, orang-orang awam. Baik dari sisi keyakinan maupun kebiasaan. Artinya, keterangan itu bisa menjadi cermin dan barometer bagi kita, apakah perasaan sedikit ujub bahwa “aku bukan orang awam” ini sesuai dengan diri kita atau belum? Sebab, jika ternyata kita masih terpedaya dengan jerat setan yang dipasang untuk orang awam, maka bukankah level kita sebenarnya tidak jauh dari mereka?

 

Masing-masing Ada Jebakannya

Lain ladang lain belalang. Lain orang, lain pula sifatnya. Karenanya, jerat yang dipasang setan untuk menjerat masing-masing orang pun berbeda. Terhadap yang berilmu, ada jerat ujub dan takabur, kepada yang cenderung sufi, ada jerat karamah dan ilham hingga mereka begitu mengagungkan keduanya, dan terhadap ahli ibadah dipasanglah jerat ifrath, berlebih-lebihan dalam beribadah.

Nah, beliau juga menjelaskan bahwa setan memiliki cara tersendiri untuk menjebak orang-orang awam. Minimnya ilmu akibat jauhnya mereka dari ulama dan tradisi keilmuwan membuat jalan setan semakin lempang.

Baca Juga: Maraknya Tren Membeda-bedakan Ustadz dan Ulama’

Kita mulai dari jerat hati. Bala tentara setan menjebak mereka ke dalam keyakinan timpang dalam memahami rahmat Allah. Begitu yakin dengan ampunan Allah dan mengabaikan sama sekali ancaman-Nya. Hati lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat kabar gembira daripada ancaman dan peringatan. Sehingga, dalam berbagai pengajian dan majelis ilmu, ayat dan hadits yang dipilih melulu nash-nash yang berisi kabar gembira, janji pahala sekian dan sekian untuk amalan ringan, ampunan Allah dan surganya dan sebagainya. Akibatnya, mereka memiliki optimisme yang kebablasan. Merasa bahwa sebesar apapun dosa yang dilakukan, Allah pasti mengampuni.

Mereka dibuat lupa bahwa rahmat dan ampunan itu hanya diperuntukkan bagi yang bertaubat dari kesalahan. Bukan yang berbuat dosa, sembari terus menipu nurani yang menjerit dengan meyakinkan diri bahwa Allah pasti mengampuninya. Padahal Allah berfirman,

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى

Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. (QS. Thaha: 82).

 

 وَسِعَتْ كُلَّ شَىْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ

“…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al A’raf: 156).

Abu Amru bin al-Ala’ menceritakan ada seseorang yang suka menuduh orang berzina, ketika ditanya, mengapa suka berbuat seperti itu? Ia malah balik bertanya, “Jika aku berbuat salah kepada orangtuaku seperti aku berbuat salah kepada Rabbku, apa kau kira kedua orangtuaku akan tega melemparku ke dalam tungku berisi bara panas?” Dijawab, “Tentu saja tidak.”Ia berkata, “Aku lebih yakin dengan kasih sayang Rabbku daripada keduanya.” (Talbis Iblis, Ibnul Jauzi).

Persepsi yang salah kaprah karena rahmat Allah itu bukan seperti kasih sayang yang menjadi tabiat manusia. Sebab kalau demikian, tidak akan ada syariat menyembelih hewan atau manusia yang dimasukkan neraka. Dalam pikirannya, seakan-akan Allah tidak mengazab kecuali yang menjadi musuh-Nya, padahal dengan bermaksiat ia telah memposisikan diri sebagai musuh-Nya.

Baca Juga: Momentum Persaudaraan dan Optimisme Kebangkitan

Dari pola pikirnya, setan menjebak mereka pada sikap taqlid yang membabi buta pada adat warisan nenek moyang. Tak peduli salah atau benar, adat warisan itu mereka jaga dan lestarikan. Mereka beralasan, toh warisan-warisan itu tidak ada yang menabrak ritual-ritual ibadah seperti shalat dan lainnya. Malah, jika dipelajari ada filosofi-filosofi agung yang terkandung di dalamnya.

Memang, rata-rata adat warisan itu tidak menabrak ibadah, tapi tidak sedikit yang menabrak akidah, keyakinan seorang muslim, karena mengandung kesyirikan. Atau mengandung bidah yang diharamkan, amalan yang lebih disukai Iblis daripada dosa besar.

Jebakan yang lain, setan membuat mereka yakin dan mudah terpengaruh dengan pernyataan dukun atau paranormal dan tukang ramal. Kalaupun tidak mengikuti dan mentaati, paling tidak mereka enggan menyanggah. “Percaya tidak percaya” katanya.

Dari sisi perilaku, Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa setan menjebak orang awam dengan beberapa kebiasaan buruk. Diantaranya; meremehkan penutup saat buang air. Pernahkah anda melihat seseorang buang air kecil disamping mobilnya yang diparkir di pinggir jalan? Biasanya dilakukan tepat di samping roda mobil. Atau saat melewati jembatan, tidak sekali dua kali kita melihat ada yang sedang asyik ‘bertapa’ membuang hajatnya di sungai tanpa penutup apapun.

Mereka juga dijebak pada kebiasaan bersumpah untuk hal-hal remeh. Dengan entengnya sumpah atas nama Allah kerap terucap layaknya bumbu omongan belaka. Lebih parah lagi jika sumpah hanya dijadikan kedok untuk menutupi kedustaan.

Orang-orang awam juga sering dijebak dengan sikap meremehkan hak suami atau isteri. Beliau mencontohkan, ada yang waktu menikah masih memiliki tanggungan hutang mahar kepada isterinya. Ia menyangka bahwa setelah sekian lama menjalani hidup bersama, isterinya telah mengikhlaskan kekurangan hutangnya dan mahar pun tidak dibayar.

Satu hal lagi, mereka juga dijebak untuk lebih menyukai amalan sunah bahkan bid’ah daripada amalan wajib. Mereka begitu rajin dan bersemangat melaksanakan shalat atau shaum-shaum aneh dan tak terlalu tertarik dengan shalat dan shaum-shaum sunah.

Nah, adakah kita masih sering terperangkap dalam jerat-jerat seperti di atas? Semoga tidak. Semoga Allah menjadikan kita hamba-Nya yang terpilih untuk berlaku lurus di dunia, ahli ilmu dan amal dan terjaga dari berbagai tipu daya setan. Amin.

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Manajemen Hati

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *