Catatan Harian Juru Dakwah

Mungkin tak ada yang lebih sibuk dari seorang da’i. Dia harus menyiapkan bahan yang hendak disampaikan, jam terbang yang begitu padat dengan acara kajian dan dakwah, di samping tanggung jawab menafkahi keluarga tentu saja tak lepas dari pundaknya. Bukan saja dia harus berkonsentrasi terhadap nasib diri dan keluarganya, namun juga berbagi pikiran untuk kesejahteraan umat di dunia dan akheratnya, nasib Islam dan masa depannya.

Terkadang, da’i yang super sibuk tersebut tidak bisa mengatur waktu secara proporsional. Ketimpangan pada satu sisi berefek pada ketidakseimbangan jalannya roda pada sisi yang lain. Perhatian da’i secara berlebih kepada aktivitas dakwah, memperpadat acara demi acara namun melupakan hak diri dan keluarganya bakal menimbulkan efek buruk di belakangnya. Bukan saja terlantarnya kebutuhan diri dan keluarga, namun juga kehidupan ruhani dan kelangsungan dakwahnya.

 

Kebiasaan Orang Shalih

Dalam aspek amal dan ketaatan, tak dikisahkan tentang seorang shalih, pahlawan Islam atau seorang alimpun melainkan ia memiliki kebiasaan shalat malam, dzikir, tertib shalat jama’ah dan akrab dengan kitabullah. Sedangkan kita, seringkali kedodoran menjaga rutinitasnya. Shalat jama’ah kadang terlambat, dzikir pagi sore tak terpikir, tilawah Qur’an keteteran, shalat malam tak dibiasakan lantaran telah ‘terkuras’ tenaga dan waktunya untuk dakwah. Bagaimana kita hendak mengobati umat jika ruhnya sekarat? Bagaimana kita kuasa menanggung beratnya rintangan jika benteng pertahanan jiwa begitu rapuh? Bagaimana pula kita mampu merobohkan musuh sedang kekuatan hati nyaris lumpuh?

 

Shalat Jama’ah

Jangan salahkan umat jika mereka menjauh dan tidak mau belajar kepada kita lantaran keteledoran kita terhadap shalat jama’ah. Karena mereka ingin belajar dari orang yang baik agamanya, sedangkan shalat jama’ah merupakan indikasi yang paling utama. Umar bin Khathab mengatakan perihal shalat jama’ah, “Barangsiapa yang meremehkan shalat, maka sungguh untuk urusan selainnya pasti lebih meremehkan.”

Seringkali para da’i mendidik umatnya untuk mengesampingkan urusan ini, mereka menyelenggarakan acara-acara pengajian hingga menabrak waktu-waktu shalat, atau asyik berceramah meski terdengar suara iqamah. Itupun setelahnya pendengar dibiarkan pulang, padahal telah satu jam lewat dari masuknya waktu shalat. Bagaimana dia serius memikirkan agama jika urusan shalat dia remehkan?

Jika Ibnu Ummi Maktum yang buta, rumahnya jauh dari masjid dan sulit jalannya tidak diberi keringanan oleh Nabi untuk shalat di rumah ketika mendengar adzan, maka alasan apa yang hendak kita utarakan untuk tidak mendatangi shalat jama’ah? Padahal kita melihat, sehat dan mendengar adzan bahkan tidak hanya sekali.

Bahkan karakter paling menonjol dari orang munafik pada zaman sahabat adalah meninggalkan shalat jama’ah. Maka alangkah tidak layak jika keteledoran ini menjadi kebiasaan seorang da’i.

 

Shalat Malam

Allah telah mempersiapkan Nabi dan para sahabatnya dengan ibadah yang kuat berupa wajibnya qiyamul lail pada awalnya. Hingga pada akhirnya mereka teguh menghadapi ujian, tegar menghadapi kendala dan musuh-musuh dakwah. Bahkan musuh-musuh mensifatkan mereka dengan kalimat, “Seandainya mereka berhasrat untuk menghancurkan gunung niscaya mereka mampu.”

Shalat malam adalah kebiasaan orang shalih. Rasanya kita malu kepada Allah, ketika orang menyebut kita orang shalih namun tidak memiliki kebiaaan yang dilazimi orang shalih. Nabi bersabda:

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ لِلْإِثْمِ

“Hendaknya kalian mengerjakan shalat alam, karena itulah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Ia dapat mendekatkan dirimu kepada Allah, pelebur kesalahan, pencegah dari dosa.” (HR. Tirmidzi, Abu Isa berkata, “Inilah hadist paling shahih yang melalui jalur Abu Idris dari Bilal)

Tatkala Abu Hanifah berjalan dan mendengar orang saling berbisik, “Inilah orang yang tidak pernah tidur di waktu malam (karena shalat malam)”. Maka beliau bergumam, “Ya Allah aku malu kepada-Mu, orang-orang memiliki prasangka baik kepadaku padahal aku tidaklah memilikinya.” Sejak itu beliau selalu menghidupkan malanya untuk shalat.

 

Melazimi Dzikir

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dzikir bagi hati ibarat air bagi ikan, bagaimana halnya jika ikan dikeluarkan dari air?” tentulah ikan akan mati, sebagaimana hati akan gersang bila kering dari dzikir, akan mati jika terlalu lama kosong dari mengingat Allah. Pentingnya dzikir kepada Allah ditunjukkan oleh perbuatan Nabi yang mengajarkan kepada kita dzikir-dzikir tertentu setiap hendak melakukan sesuatu, dari bangun pagi hingga bangun pagi yang berikutnya.

Nabi membuat perumpamaan antara orang yang rajin berdzikir dengan yang lali:

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dengan yang tidak berdzikir kepada-Nya adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dan yang mati.” (HR. Al-Bukhari)

Hati yang hidup dan lisan yang sehat tak pernah merasa bosan untuk berdzikir, bahkan merasa kehilangan jika lupa atau tak bisa mengerjakannya.

Al-Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama besar dan juru dakwah yang handal memiliki kebiasaan tidak keluar masjid seusai shalat shubuh melainkan setelah mataharai terbit, beliau menyibukkan dengan dzikir dan membaca Al-Qur’an. Beliau bergumam, “inilah sarapan pagiku, tubuhku akan lunglai tak berdaya jika melewati pagi tanpa amalan ini.” Ya, beliau merasakan lesu ketika terlewatkan dzikir pagi sebagaimana lesunya kita tatkala terlewat dari sarapan pagi.

 

Tilawah Al-Qur’an

Diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk dibaca di samping diamalkan dan diajarkan. Sehingga dalam banyak ayat Allah memerintahkan untuk membacanya, begitupula Nabi banyak memberikan motivasi untuk itu. Beliau bersabda:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka baginya satu pahala kebaikan, setiap kebaikan dilipatkan sepuluh kali, aku tidak mengatakan bahwa alif laam miim satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” (HR. Al-Bukhari)

Dengan fadhilah ini pula, para sahabat antusias untuk membaca dan bahkan menghafalkannya. Umumnya para sahabat mengkhatamkan Al-Qur’an seminggu sekali, paling lama 30 hari dan paling cepat 3 hari sekali, kecuali pada kesempatan-kesempatan utama seperti bulan Ramadhan.

Jika apa yang kita dakwahkan adalah Al-Qur’an, bagaimana kita jenuh membacanya? Tentu di sana, di hati kita ada penyakit yang bersemayam di dalamnya. Karena beningnya hati menimbulkan kerinduan untuk senantiasa dekat dengan kalam Rabbnya. Ustman bin Affan yang syahid di saat mendekap mushaf Al-Qur’an yang dibacanya pernah berkata, “kalaulah hati kita jernih, tentulah tidak akan bosan membaca kalamullah.”

Segala amal tersebut (dengan taufik Allah) ketika telah menjadi kebiasaan, insya Allah tidak akan terasa berat dan bahkan menjadi penghibur jiwa dan pelipur lara. Sungguh ini bukanlah mengada-ada atau berpura-pura. Nabi sendiri menyuruh Bilal menghibur dengan shalat. Beliau bersabda, “arihna bish-shalah ya Bilal”, wahai Bilal hiburlah diri kita dengan shalat! Muhammad bin Munkadir rahimahullah berkata, “Tiada kelezatan dunia yang melebihi tiga hal, yakni shalat malam, berkumpul dengan saudara dan shalat jama’ah.” Umar juga mengatakan yang serupa dan ditambah “jihad fii sabilillah.

Bahkan kenikmatan berma’rifah dan beribadah kepada Allah inilah jannah di dunia yang dikatakan oleh syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Di dunia ada jannah, barangsiapa yang tidak memasukinya, maka sulit baginya memasuki jannah akheratnya.” Wallahu a’lam

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Dakwah

 

Antara Anak-anak dan Masjid

Masjid adalah sentral dari kegiatan umat Islam. Tak terbatas hanya pada shalat wajib lima waktu saja, bahkan sampai muamalah yang diperbolehkan dikerjakan di dalamnya dan ibadah siyasiyah, sebagaimana Nabi dan para sahabat mencontohkan.

Masjid adalah tempat berkumpulnya orang-orang beriman, baik muda maupun tua. Baik kanak-kanak maupun kakek-kakek. Sangat biasa anak-anak ke masjid untuk mengaji bersama teman-temannya di kala sore hari, beberapa hari dalam seminggu. Bapak-bapak sering berkumpul dalam forum pengajian maupun forum ketakmiran. Para Ibu juga berkumpul dalam forum ummahat masjid. Hal-hal tersebut sangat wajar dan idealnya masjid memang begitu adanya.

Namun dewasa ini banyak anak-anak yang aksesnya ke masjid dibatasi. Entah dari menghadiri shalat jamaahnya, atau saat ingin belajar membaca al-Quran dalam forum TPA. Tak lain alasan pengurus masjid adalah karena rame dan menimbulkan kegaduhan. Mengganggu jamaah yang lagi shalat, mengotori lantai masjid dan alasan flat lainnya. Padahal bila hendak memerhatikan, banyak sekali teladan dari Nabi dalam menyikapi anak-anak terutama yang berkaitan dengan masjid.

Berikut ini beberapa perkataan Nabi tentang anak-anak dan masjid;

HADITS PERTAMA

Syaddad menuturkan bahwa Rasulullah datang ke masjid di salah satu waktu shalat dengan mengajak salah seorang cucunya. Nabi maju kedepan untuk mengimami shalat dan meletakkan cucunya di sampingnya, kemudian nabi melakukan takbiratul ihram memulai shalat. Pada saat sujud, beliau sujud sangat lama, tidak seperti biasanya. Saya diam-diam mengangkat kepala untuk melihat apa yang terjadi. Saat itu saya melihat cucu Nabi naik ke atas punggung Nabi yang sedang bersujud. Setelah melihat kejadian itu saya kembali sujud bersama makmum lainnya. Seusai shalat, orang-orang sibuk bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau sujud sangat lama, kami sempat khawatir terjadi sesuatu atau engkau sedang menerima wahyu.” Rasulullah menjawab, “Tidak, tidak terjadi apa-apa, cuma tadi cucuku menaiki punggungku dan saya tidak mau memburu-burunya sampai dia menyelesaikan mainnya dengan sendirinya.” (HR. Nasa’i dan Hakim)

HADITS KEDUA

Suatu ketika saat Rasulullah sedang berkhutbah, kedua cucunya, Hasan dan Husein, datang dengan menggunakan kemeja merah dan berjalan tertatih karena masih kecil. Rasulullah pun turun dari mimbar masjid dan mengambil kedua cucunya itu dan membawanya naik ke mimbar. Rasulullah bersabda, “Mahabenar Allah, harta dan anak-anak adalah fitnah, kalau sudah melihat kedua cucuku ini aku tidak bisa sabar.” Lalu Rasulullah kembali melanjutkan khutbahnya. (HR. Abu Dawud)

HADITS KETIGA

Abu Qatadah menuturkan, “Saya melihat Rasulullah menggendong cucu perempuannya yang bernama Umamah putri Zainab di pundaknya. Apabila beliau rukuk beliau meletakkan Umamah di lantai dan apabila sudah kembali berdiri dari sujud maka Rasulullah kembali menggendong Umamah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

HADITS KEEMPAT

Rasulullah bersabda, “Ketika sedang shalat, terkadang saya ingin memanjangkan shalat, namun bila sudah mendengarkan tangis anak kecil -yang dibawa ibunya ke masjid- saya pun menyingkat shalat saya, karena saya tau betapa ibunya tidak enak hati dengan tangisan anaknya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

HADITS KELIMA

Rabi’ menceritakan bahwa pada suatu pagi hari Asyura Rasululah mengirim pesan ke kampung-kampung sekitar kota Madinah, yang bunyinya “Barang siapa yang sudah memulai puasa dari pagi tadi maka silahkan untuk menyelesaikan puasanya, dan bagi yang tidak puasa juga silahkan terus berbuka.” Sejak saat itu kami senantiasa terus berpuasa pada hari Asyura, begitu juga anak-anak kecil kami banyak yang ikutan berpuasa
dengan kehendak  Allah, dan kami pun ke masjid bersama anak-anak. Di masjid kami menyiapkan mainan khusus buat anak-anak yang terbuat dari wool. Kalau ada dari anak-anak itu yang tidak kuat berpuasa dan menangis minta makan maka kami pun memberi makanan buka untuknya.” (HR. Muslim)

Karakter anak-anak memang cenderung suka bermain dan masih butuh waktu untuk serius menjalani rangkaian ibadah layaknya orang yang sudah mukallaf. Tapi bukan berarti pengurus mesjid harus membatasi akses mereka ke mesjid apalagi sampai melarang datang ke masjid. Bila demikian adanya, hanya akan menimbulkan trauma dan anak-anak pun tumbuh jauh dari aroma ibadah dan aura masjid.

Oleh: Redaksi/Biah

 

 

Enam Kaidah Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Inti dari ajaran Islam adalah mengajak ummat menuju kebaikan dan mencegah kemungkaran. Oleh karenanya, ummat ini layak menyandang gelar ummat terbaik selama menjalankan praktik amar ma’ruf nahi munkar.

Saat kemungkaran terjadi, maksiat dilakukan secara vulgar tanpa malu-malu lagi, seorang muslim tak boleh hanya diam membisu. Sebab, perbuatan maksiat apalagi yang terjadi secara berjamaah merupakan bukti penentangan atas perintah Allah. Oleh karenanya, setiap musim harus tergerak untuk mengubah kemungkaran itu menjadi kebaikan. Mulai dengan aksi fisik dengan tangan, lisan hingga batasan paling minim, dengan hati.

Namun, menghentikan kemungkaran tak boleh dilakukan secara membabi buta dan tanpa perhitungan tepat. Karena dalam hal ini objek yang dihadapai adalah manusia. Sehingga seeorang yang bermaksud mencegah kemungkaran dan menyebarkan kebaikan membutuhkan panduan ilmu agar tujuan yang diidamkan dapat terwujud. Oleh karena itu, sebagaimana yang tertulis dalam buku “Hukmu Tagyirul Munkar Bil Yad Liahadi Raiyyah.” karya syaikh Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi. Ada beberapa panduan bagi yang ingin mewujudkan kebaikan di tengah ummat dan ingin membasmi kemungkaran yang kian marak. Berikut ini beberapa pedoman yang seyogyanya diperhatikan oleh seorang muslim,

 

Enam Kaidah Amar Makruf Nahi Mungkar

Terdapat beberapa syarat yang ditentukan oleh ulama dalam menjalankan aksi amar ma’ruf nahi munkar. Syarat tersebut merupakan intisari dari pemahaman para ulama terhadap nash-nash alquran dan hadits serta maksud dari tujuan syariat. Syarat-syarat terpenting dalam mengatasi kemungkaran yaitu:

Pertama: Pelaku tertangkap basah sedang melakukan kemungkaran

Perbuatan mungkar yang yang dilakukan secara vulgar dan diketahui oleh publik harus dicegah.

Imam Ghazali merinci perbuatan kemungkaran yang sering terjadi menjadi tiga kondisi:

  • Pertama: ketika perbuatan itu menjadi dilakukan secara terang-terangan. Kewajiban ini diserahkan kepada penguasa untuk segera menghukum dengan hukuman had atau ta’ir. Sebab, hukuman tersebut ditegakkan oleh institusi kekuasaan.
  • Kedua: perbuatan maksiat terjadi di hadapan seseorang. Seperti melihat pemabuk meminum minuman keras atau melihat pria memakai sutera. Maksiat tersebut wajib dihilangkan dengan cara apa saja selama tidak menimbulkan maksiat yang sama atayu lebih besar. Tindakan ini boleh dilakukan oleh setiap orang.
  • Ketiga: ketika bibit-bibit perbuatan mungkar baru dalam tahap awal. Sehingga muncul kemungkinan perbuatan itu akan dilakukan. Seperti melihat orang menata tempat untuk kegiatan maksiat. Yang dilakukan dalam keadaan ini adalah memberi nasehat kepada pelaku dengan cara yang ma’ruf dan tepat. Tidak boleh melakukan aksi fisik kecuali jika diketahui bahwa oang itu telah terbiasa melakukan kemungkaran.
Kedua, Kemungkaran terjadi secara vulgar tanpa ada upaya memata-matai

Memata-matai orang muslim hukumnya haram. Namun, larangan ini tidak berlaku jika untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرً‌ا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Dari zaid bin wahab yang menceritakan bahwa seorang pria dibawa dibawa ke hadapan Ibnu Masud. Janggutnya masih meneteskan minuman keras. Abdullah bin masud pun mengatakan, “Kita dilarang melakukan tajassus. Namun, jika maksiat dilakukan secara terang-terangan, kita akan membabatnya.”

Larangan ini berlaku umum, kecuali dalam keterpaksaan ketika tindakan ini menjadu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa. Imam Al-Nawawi pernah mengutip Keterangan Imam Al-Mawardi. Seseorang yang ingin mencegah kemungkaran dilarang mencari-cari kemungkaran yang tersembunyi. Jika terdapat bukti-bukti yang menunjukkan adanya perbuatan kemungkaran yang terjadi secara diam-diam maka terdapat dua kondisi:

Pertama, Kemungkaran akna menyebabkan musibah dan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Contohnya yaitu pembunuhan atau perzinahan. Dalam kondisi tersebut dibolehkan untuk memata-matai demi menggagalkan kemungkaran tersebut.

Kedua, kondisi di mana tingkat kemungkaran tidak separah yang pertama. Sehingga tindakan tajassur tidak perlu dilakukan.

Ketiga, Mengikuti tahapan yang telah ditentukan oleh syariat dalam menghilangkan kemungkaran

Tahapan mengubah dan membasmi kemungkaran diawali dengan peringatan secara lisan. Memberi tahu pelaku bahwa ia telah melakukan perbuatan mungkar yang dilarang oleh syariat. Jika kemungkaran terus berlanjut. Dilakukan tindakan atau aksi fisik dengan kekuatan.

Ibnu arabi berkata, “Mengubah kemungkaan dimulai dengan nasihat dan penjelasan. Jika tidak berhasil maka dengan tangan.”

Hal ini berdasarkan hadits nabi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Orang yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahkan dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, ubah dengan hatinya. Dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim)

Keempat, Hanya melakukan tindakan yang diperlukan

Jika suatu kemungkaran dapat dicegah dengan cara minimal, tidak boleh berlebihan dalam membasminya. Misalnya, kemungkaran dapat dicegah dengan tangan tanpa perlu memukul pelakunya. Maka, dilarang memukul atau menggunakan kekerasan lainnya.

Imam al-jashshash mengatakan, “jika kita yakin bahwa si pelaku dapat dicegah dengan tangan tanpa senjata. Maka dilarang menghilangkan nyawanya.”

Ibnu qayyim juga menjelaskan, jika seseorang melakukan tindakan berlebihan dalam aksi babat kemungkaran sehingga menyebabkan kerusakan benda atau aset, ia harus mengganti nilainya. Sebab kita diperintahkan hanya untuk mengubah kemungkaran. Kita dilarang memukul si pelaku selama dapat dicegah tanpa pemukulan. Selama kemungkaran dapat dicegah dengan sedikit mencederai pelaku, dilarang memukuli pelaku hingga terluka parah.

Kelima, Aksi tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar

Walaupun amar makruf nahi mungkar dapat membawa maslahat dan mencegah kerusakan, namun perlu melihat efek dan dampaknya. Jika mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang lebih besar, tidak boleh dilakukna. Bahkan bisa menjadi haram hukumnya jika kerusakan yang ditimbulkannya lebih besar dari dampak positifnya.

Ibnu Taimiyah memberikan contoh untuk kaidah ini. Nabi Muhammad SAW membiarkan dan tidak menghukum Abdullah bin ubay dan para pemimpin munafik lainnya karena mereka memiliki basis masa yang besar. Menumpas kemungkaran dengan menghukum Abdullah bin Ubay berpotensi menyebabkan hilangnya kebaikan karena massa tersebut dapat marah dan tak terkendali. Demikian juga akan tersebar fitnah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad membunuh shahabatnya sendiri.

Contoh lainnya. Pada zaman penjajahan Tartar, beliau dan murid-muridnya melewati sekelompok tentara Tartar yang sedang mabuk-mabukan. Sebagian murid memarahi mereka. Tapi beliau mencegah dan mengatakan, “Allah mengharamkan khamer karena menghalangi orang dari mengingat Allah dan menegakkan shalat. Sedangkan khamer sekarang menghalangi mereka dari membunuh, menculik wanita dan merampok. Biarkan mereka meminum-minuman.”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah merinci aksi nahi mungkar menjadi 4 tingkatan:

  • Pertama, kemungkaran hilang dan berganti menjadi kebaikan.
  • Kedua, kemungkaran berkurang meski tidak bisa hilang seratus persen.
  • Ketiga, kemungkaran hilang, tapi muncul kemungkaran baru yang sama kadarnya.
  • Keempat, kemungkaran hilang, tapi  berganti dengan kemungkaran baru yang lebih besar.

Kedua tingkatan pertama disyariatkan. Tingkatan ketiga bergantung pada ijtihad. Sedangkan yang keempat haram dilakukan. Namun harus diingat bahwa kebaikan dan kerusakan dinilai menurut ukuran syar’I bukan menurut akal dan hawa nafsu.

Keenam, Orang awam tidak diperingatkan kecuali dalam pelanggaran yang sudah jelas dan tidak memerlukan kedalaman ilmu dan ijtihad

Imam an-Nawawi mengatakan, orang yang berusaha mengajarkan yang makruf dan mencegah kemungkaran harus memahami apa itu kebaikan dan kemungkaran. Jika dalam hal ushul atau pokok seperti perbuatan wajib dan haram yang jelas dan diketahui oleh banyak orang. Seperti, shalat, shaum, zina dan khamer semua orang Islam boleh terlibat di dalamnya. Namun jika termasuk hal-hal spesifik yang sulit dan tidak dipahami oleh orang awam, maka mereka tidak boleh ikut campur dalam masalah tersebut. Karena hanya ulama yang kapabel dalam membahas hal tersebut.

Syarat ini berlaku karena orang yang belum tahu terkadang mengajak kepada kemungkaran dan melarang perbuatan baik akibat ketidaktahuannya. Allah berfirman:

قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf: 108)

Inilah syarat-syarat penting yang harus diperhatikan dalam mencegah kemungkaran dengan tangan. Syarat ini berlaku kepada siapa saja, mulai dari orang awam hingga ulama. Dari individu hingga kelompok atau penguasa. Syarat di atas tidak khusus dalam aksi nahi mungkar dengan tangan, tetapi tetap harus terpenuhi ketika mengubah kemungkaran dengan lisan.

 

Oleh: Redaksi/Biah/Sekitar Kita

10 Nasihat Kepada Aktivis Muslim

Gerakan dakwah Islam akan kendur apabila tidak digawangi dengan aktifnya para partisipan dakwah yang bergerak beriringan menjalankannya. Dakwah bukanlah amalan ringan yang bisa dilakukan sesaat atau sepenggal waktu saja. Tapi ia adalah amalan berkepanjangan, yang imbasnya banyak yang tidak kuat memikulnya, ada yang bertolak ke belakang karena sulitnya, ada juga yang memilih berhenti karena sepinya teman dalam melakukannya.

Olehnya, bagi para aktivis muslim untuk selalu memompakan semangat pada dirinya; bisa dengan memperhatikan nasihat kebaikan lalu mengenyam dan mengamalkannya.

Berikut sepuluh nasihat dari Syaikh Abdul Aziz bin Nashir al-Jalil kepada para Aktivis Muslim,

  1. Memohon Hidayah Agar Ditunjukkan Kepada Kebenaran

Nabi lbrahim berdoa,

“Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku temasuk orang yang sesat…(QS. Al-An’am: 77)

  1. Hindari Hawa Nafsu dan Kepentingan Pribadi

lbnu Qayim al-Jauziyah berkata, “ada fanatisme kepada Allah dan fanatisme kepada hawa nafsu. Fanatisme pertama akan berkobar kettka mementingkan Allah dan perintah-Nya sementara fanatisme yang kedua dikobarkan oleh segala Upaya memenangkan nafsu dan emosi yang muncul lantaran keinginannya tidak terturuti.” (ar-Ruh)

  1. Berprasangka Baik Kepada Allah

Dengan terus berprasangka baik kepada Allah hati menjadi tenang dan terproteksi dari gangguan setan.

  1. Membekali Diri Dengan Ilmu Syar’i

Golongan yang salah memilih jalan kebenaran umumnya dari kalangan orang-orang yang tak berilmu. Baik ilmu agama maupun ilmu tentang realitas.

  1. Verifikasi Berita

Salah satu factor penyumbang masalah umat adalah terlalu mudah menyebar berita tanpa memverivikasi kebenarannya.

  1. Empati dan Musyawarah

Empati dengan penderitaan saudara sesame muslim, sebagai bentuk kepeduliaan dan tanggung jawab kita. Sedangkan musyawarah sebagai jalan untuk menemukan dan menentukan pilihan dan tindakan yang benar.

  1. Menyelesaikan Masalah Yang Dihadapi

Muadz bln Jabal berkata, “Janganlah kamu tergesa membicarakan suatu masalah yang belum terjadi. Jika kamu tidak tergesa-gesa membicarakan masalah itu ketika masalah itu terjadi akan ada orang yang diberi taufik dan benar jika dia berbicara.

  1. Bersatu dan Menghindari Perpecahan

Ibarat domba yang terpisah dari rombongannya, ia akan mudah diterkam serigala dan binatang buas lainnya. Tapi, saat ia bergerombol dengan domba-domba lainnya, serigala pun akan berpikir ulang ketika ingin memangsanya.

Rasulullah bersabda, “Berjamaah itu rahmat dan berpecah belah itu adzab.” (HR. Ahmad)

  1. Bertakwa dan Beramal Shalih

Rasulullah bersabda, “Jagalah Allah, Allah kan menjagamu. Jagalah Allah kamu akan dapatkan Dia mengawasimu. Kenalilah Allah dalam suka Dia akan mengenalimu dalam duka.”

  1. Mewaspadai Makar Orang-Orang Munafik

Orang munafik ibarat musuh dalam selimut. Seakan memberikan bunga, tapi ternyata dilumuri dengan racun. Itulah mereka, yang hendaknya kita hindari.

Allah berfirman kepada Nabi, “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah kepada mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. At-tahrlm: 9)

 

Oleh: Ust. Muhtadawan Bahri/Biah

Lelah dalam Memaknai Syahrun Mubaarak ‘Ramadhan’

Ataakum syahrun mubaarak, telah Adatang kepada kalian bulan yang diberkahi, demikian ucapan selamat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika datang bulan Ramadhan.

Ini memang perkara yang sudah dimaklumi dan disepakati. Sekaligus paling mewakili tentang sifat Ramadhan. Juga lebih tepat daripada menyifati ramadhan sebagai bulan suci, karena masih butuh dalil tentang penyifatan ini. Berbeda dengan syahrun mubaarak yang telah jelas nash dan dalilnya.

Tapi, mari kita selami lebih jauh lagi akan makna keberkahan yang berhubungan dengan Ramadhan. Di antara makna keberkahan adalah an nama’ wa ziyadah, bertumbuh dan bertambah. Keberkahan itu ketika mengenai yang sedikit maka akan berlipat menjadi banyak. Dan jika mengenai yang banyak akan tampak manfaatnya. Indikator yang paling nyata akan keberkahan sesuatu adalah istl’maluhaa alaa tha’atillah, ketika digunakan untuk ketaatan kepada Allah.

Ramadhan kita akan berkah ketika semakin banyak kita gunakan untuk ketaatan. Jelas pula kita pahami bahwa keberkahan bulan Ramadhan menjadikan pahala amal shalih menjadi berlipat ganda.

Namun tak hanya keberkahan yang berupa pahala semata. Bahkan setiap usaha, karya kebaikan dan amal shalih itu akan dilipatkan hasilnya di bulan Ramadhan.

Omset sedekah di bulan Ramadhan biasanya selalu meningkat drastis, pun begitu tak pernah ada laporan atau berita tentang bertambahnya angka kemiskinan disebabkan banyaknya orang yang bersedekah. Meskipun kita dapati bahwa orang yang bersedekah di bulan Ramadhan termasuk juga kalangan ekonomi menengah ke bawah. Ini di antara yang bisa dilihat dan dirasakan keberkahan sedekah di bulan ramadhan.

Ikhtiar untuk mencari ilmu, di bulan Ramadhan juga akan dilipatkan hasilnya dari pemahaman dan atau hafalannya. Sedikit usaha membuahkan hasil yang berlipat di hari biasa.

Baca Juga: Kultum Ramadhan, Indahnya Nostalgia Penghuni Surga

Keberkahan Ramadhan juga bermakna bagi orang yang berupaya menghafal aI-Qur’an, kemudahan juga akan lebih dirasakan jauh dibandingkan hari biasa. Pengalaman ini juga banyak disaksikan dan dialami oleh para penghafal al-Qur’an. Begitulah makna keberkahan Ramadhan bagi para penghafal aI-Qur’an.

Bagi para da’i di jalan Allah, ajakan dan seruan mereka lebih banyak didengar dan diterima oleh masyarakat, dibanding waktu-waktu yang lain. Nyatanya, event-event pengajian lebih banyak dihadiri meski secara intensitas juga lebih sering dari bulan selainnya.

Intinya, Ramadhan menjanjikan hasil yang berlipat ganda dan istimewa bagi siapapun yang mengisinya dengan kebaikan. Maka selayaknya kita tak canggung dan tanggung untuk merencanakan program-program di bulan Ramadhan. Baik yang berhubungan dengan target diri sendiri, keluarga maupun masyarakat secara umum. Mari lihat kembali, sedahsyat apa program kita di bulan Ramadhan tahun ini.

Apakah program yang terencaa sudah terealisasi? Sementara Ramadhan hanya tersisa beberapa hari lagi.

Semoga Allah menerima ibadah puasa kita tahun ini.

 

Muhasabah/Ust. Abu Umar Abdillah

Agar Suara Para Da’I Didengar Umat

Tak lama pasca Sa’ad bin Mu’adz masuk Islam melalui dakwah duta Islam pertama Mush’ab bin Umair, tak ada satu rumahpun di Bani Asyhal Madinah melainkan di dalamnya ada Islam. Peristiwa spektakuler lainnya, dengan asbab dakwah Abu Dzar Al-Ghifari masuk Islamlah kaum Ghifar dan kaum Aslam—dua suku yang tadinya identik dengan sarang perampok dan penyamun—secara berbondong-bondong.

Sejarah para pendahulu kita yang shalih begitu padat dengan keberhasilan di medan dakwah. Baik berupa masuk Islamnya suatu kaum secara berbondong-bondong, atau ramainya para kafilah yang bertaubat karena nasehat yang tulus dari para da’i fi sabililillah. Ucapan mereka menyentuh, nasehat mereka berpengaruh, kendati singkat kalimat yang diutarakan, meski diam mereka lebih banyak dari bicaranya. Bahkan suara mereka lebih didengar dari orang kaya dan para raja.

Ada rahasia dibalik kesuksesan mereka. Sa’ad bin Mu’adz memiliki modal cukup sehingga masyarakat mendengar omongannya. Mereka mengenal Sa’ad sebagai sosok yang patut diteladani, jujur, amanah dan santun kepada sesama. Begitu pula dengan sahabat yang lain. Terlebih apa yang dialami oleh Nabi kita ﷺ, kepercayaan umat akan kejujuran dan sifat amanahnya, membuat umat tak sanggup mengingkari kebenaran risalahnya.

Baca Juga: Maraknya Tren Membeda-bedakan Ustadz dan Ulama’

Ketika awal-awal beliau diperintahkan berdakwah secara terang-terangan, beliau naik ke atas bukit dan menyeru kaumnya. Setelah mereka berkumpul beliau berkata, “Jika aku katakan bahwa di balik bukit ini akan ada pasukan kuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian membenarkan aku?” Serentak mereka berkata, “Kami belum pernah mendapatkan Anda berdusta.” Dengan modal inilah Nabi ﷺ dan juga para pengikutnya yang setia sukses dengan dakwahnya.

 

Problematika Dakwah

Apa yang kita alami hari ini sungguh berkebalikan. Betapa banyak para khathib, mubaligh, juru dakwah dan para kyai, namun tak juga mampu membendung arus kemaksiatan. Betapa banyak pula pengajian diadakan, seminar digelar dan kajian digalakkan, pun peningkatan pelaku maksiat lebih drastis ketimbang segelintir orang yang mau bertaubat.

Kenyataan ini mestinya menggugah kesadaran para da’i, mengharuskan intropeksi diri dan mencari solusi. Adakah sesuatu yang “error” hingga materi yang sama menimbulkan pengaruh yang berbeda? Bukankah Islam yang kita dakwahkan hari ini sama dengan islam yang dahulu para salaf serukan?

 

Beda Pembawanya

Tidak dipungkiri bahwa faktor keberhasilan dan kegagalan suatu hal dipengaruhi bermacam variabel. Bisa jadi tergantung kondisi obyeknya, sarana yang digunakan atau retorika penyampaiannya.

Hendaknya seorang da’i senantiasa mawas diri, mungkinkah kegagalan dan hambatan dakwah itu bermuara dari dirinya? Sangat mungkin, karena ia adalah unsur yang paling penting dalam dakwah itu sendiri.

Sudah sewajarnya jika seorang da’i berbenah dan berdandan dengan apa yang dapat menyempurnakan karakternya sebagai seorang penyeru. Tentu saja para salaf menjadi cermin untuk hal ini. Karena, tidak akan baik umat ini melainkan dengan melihat kebaikan pada para pendahulunya.

 

Membekali Diri dengan Ilmu

Seirama dengan apa yang dikabarkan Nabi, bahwa dekatnya kiamat ditandai dengan banyaknya khatib namun sedikit ilmu. Berapa jumlah masjid dalam satu kampung? Berapa khatib dalam satu RT? Namun sejujurnya kita melihat, tidak banyak di antara mereka yang memiliki kemauan serius untuk mempelajari ilmu syar’i. Teknik berpidato dan trik mengatasi minder kerap kali lebih diprioritaskan dari materi yang dipidatokan. Padahal suatu keharusan bagi seorang da’i untuk memahami apa yang ia serukan, tidak boleh ia berbicara sepatah katapun yang ia tidak mengetahui ilmunya. Inilah makna dari hadits Nabi:

بَلِّغُوْا عَنِّي وَلَوْ ايَة

“Sampaikanlah apa-apa dariku walaupun satu ayat.”

Jika hanya satu ayat atau hadits yang ia ketahui dengan benar, maka sebatas itu pula yang boleh ia katakan, tidak boleh lebih. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

 

Memberikan Keteladanan

Inilah hal yang tidak banyak dimiliki oleh para da’i kontemporer. Kiprah amalnya tak selincah lidahnya tatkala di atas mimbar. Wajar jika tak banyak merubah kondisi pendengar, alih-alih hanya mendapat tepukan tangan, acungan jempol atau guyonan yang dan lelucon. Mimbar dakwah dan majlis ilmu nyaris tak beda dengan hiburan lawak dan tontonan murahan.

Baca Juga: Dakwah: Mencari Kawan Atau Mencari Lawan?

Peristiwa yang dialami Imam Tabi’in Hasan Al-Bashri menjadi bukti, betapa keteladanan memberikan support luar biasa bagi mad’u untuk mengikuti wejangannya. Beberapa kali beliau diminta menjelaskan fadhilah memerdekakan budak saat berkhutbah jum’at, namun tak segera beliau kabulkan usulan itu, hingga pada suatu hari Jumat baru Ia sampaikan tentang hal itu. Seketika, ratusan bahkan ribuan budak dimerdekakan.

Beliau ditanya, mengapa tidak dari dahulu menyampaikan materi itu sehingga manfaatnya dapat dirasakan lebih awal? Beliau memberikan alasannya, karena baru saat itu ia mampu membeli budak dan memerdekakannya. Subhanallah!

 

Tulus dari Hati

 Hamdun bin Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Mengapa perkataan salaf lebih bermanfaat dibandingkan perkataan kita?” Beliau menjawab, “Karena mereka berbicara demi kemuliaan Islam, keselamatan diri dan mencari ridha Allah. Sementara kita berbicara untuk kemuliaan diri, mengejar dunia  dan mencari ridha manusia.”

Inilah rupanya yang membedakan kita dengan pendahulu kita yang shalih. Wajar jika hasil yang diraih demikian nyata selisihnya. Jika mubaligh hanya ingin mempertontonkan kehebatan orasinya, memamerkan lihainya lidah untuk berbicara dan unjuk kebolehan dalam memaparkan dongeng jenaka dan membuat orang tertawa, adakah yang dihasilkan dakwahnya selain untuk menonjolkan dirinya? Ini adalah pengkhianatan terhadap tujuan dakwah itu sendiri.

Seharusnya seorang da’i tatkala berdakwah, secara tulus mendambakan adanya perubahan mad’u ke arah yang lebih baik, merindukan sekiranya pendengar yang masih bermaksiat segera menghentikannya, berharap kepada Allah agar menurunkan hidayah kepada  mereka. Akhlak mulia inilah yang disandang oleh guru besar dan teladan para da’i, Muhammad ﷺ hingga dipuji Allah dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (QS. At-Taubah: 128)

Ucapan yang hanya datang dari lisan semata, tidak akan masuk menghujam hati dan jiwa  melainkan hanya seperti pepatah “masuk telinga kanan keluar lewat telinga kiri”, namun ucapan yang muncul dari dalam hati akan singgah pula di hati yang mendengarnya, innama minal qalbi yasiiru ilal qalbi, demikian yang diutarakan Hasan Al-Bashri rahimahullah, Wallahu a’lam

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Dakwah/Terkini

Pengajian ibu-ibu, Kebun Pahala atau ladang Dosa?

Kalau ada pengajian, hampir bisa dipastikan audiens terbanyak pasti wanita, khususnya ibu-ibu. Minat dan semangat ibu-ibu untuk ngaji memang relatif lebih tinggi dibanding bapak-bapak. Tak heran jika banyak bermunculan pengajian khusus ibu-ibu di mana-mana.

Semangat ini patut disyukuri. Bagi seorang ibu, ngaji alias mempelajari Islam secara mendalam merupakan kebutuhan pokok. Bagaimana tidak? Ibu adalah guru sekaligus teladan utama bagi anaknya. Sosok yang paling dekat dan paling banyak memberi pengaruh bagi perkembangan raga maupun jiwa anak-anaknya, termasuk perkembangan ilmu agamanya. Pengaruhnya tetap signifikan meski di sekolah maupun tempat ngaji, anak-anak juga mendapat asupan ilmu. Semakin rajin mengaji, semakin banyak bekal ilmu yang dimiliki, semakin banyak pula yang bisa ia beri untuk anak-anaknya. Bukankah pepatah mengatakan, faaqidu syai’ la yu’thi, orang yang tidak punya, mana mungkin bisa memberi?

Baca Juga: Saat Ibu-ibu Nahi Munkar. Para Bapak pada kemana?

Ada kemungkinan semangat ngaji pada emak-emak ini merupakan warisan dari para shahabiyah dahulu. Para shahabiyah (shahabat Rasulullah dari kalangan wanita) biasa meminta majelis khusus wanita kepada Rasulullah. Mereka berkumpul di suatu tempat dan mengundang Rasulullah sebagai penceramahnya. Disebutkan dalam hadits;

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ الرِّجَالُ بِحَدِيثِكَ ، فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ ، يَوْمًا نَأْتِيكَ فِيهِ تُعَلِّمُنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللَّهُ . فَقَالَ « اجْتَمِعْنَ فِى يَوْمِ كَذَا وَكَذَا فِى مَكَانِ كَذَا وَكَذَا » . فَاجْتَمَعْنَ فَأَتَاهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَعَلَّمَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَهُ اللَّهُ

“Dari Abu Said, seorang wanita datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “ Wahai Rasulullah, kaum lelaki sudah mendapatkan haditsmu. Harap anda bersedia membagi waktu untuk kami, satu hari yang kami bisa mendatangimu dan Engkau bisa mengajarkan kepada kami apa yang Allah ajarkan padamu. Rasulullah pun bersabda, “ Berkumpullah pada hari ini di tempat ini.” Para wanita pun berkumpul lalu Rasulullah datang dan mengajarkan mereka apa yang Allah ajarkan pada beliau.” (HR. Bukhari)

Jadi, sejak zaman Nabi, ibu ibu memang punya semangat ngaji yang tinggi. Warisan leluhur ini hendaknya tetap dijaga dan dilestarikan. Tanamkan semangat ngaji dalam diri dan militansi dalam mencari ilmu. Motivasilah diri sendiri agar terus semangat dan istiqomah dalam menuntut ilmu. Apalagi, ngaji juga memiliki banyak keutamaan; dinaungi para malaikat, didoakan penghuni langit dan bumi, dan ditetapkan sebagai manusia yang berada di jalan Allah (fi sabilillah) dan bukan di jalan setan dan kesesatan. Semua ini semestinya mampu membakar semangat.

 

Setan Tidak Rela Wanita Pergi Ngaji

Mencari ilmu itu fii sabilillah, sedang program utama setan adalah ‘yasyuddun naasa an sabilillah‘, membelokkan manusia dari jalan Allah. seperti disebutkan dalam al-quran.

Ada kalanya yang dibelokkan adalah niatnya. Caranya, menumpangi niat dengan benalu-benalu perusak seperti keinginan memamerkan sesuatu; kesuksesan suami atau anak atau barang baru, atau tebar pesona setelah mencoba kosmetik tertentu dan berbagai niat rusak lainnya.

Seperti kita ketahui, secara umum, hasrat wanita untuk terlihat cantik tidak hanya muncul saat dilihat lelaki saja tapi juga kepada sesama wanita. Keinginan mendapat apresiasi sebagai wanita yang mampu merawat diri, awet muda dan cantik juga muncul sam kuatnya saat bersama wanita.

Baca Juga: Maraknya Tren Membeda-Bedakan Ustadz Dan Ulama’

Sebaliknya, bagi yang memang semangatnya lemah, niat dan semangatnyalah yang ditekan setan. Caranya dengan memunculkan berbagai perasaan yang menyurutkan semangat untuk ngaji; minder, malas, tidak suka dengan seseorang dan alasan lain.

Selain benalu niat, pengajian juga kerap dirusak dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang hampir pasti nongol saat para emak-emak kumpul; gosip or ghibah, sampai membicarakan yang ngisi kajian, curhat-curhat gak penting yang kadang secara tak sengaja membuka aib suami dan keluarga, atau ngobrol sendiri saat pengajian berlangsung.

Majelis ilmu yang seharusnya sejuk dan khusyuk, mulai kotor oleh polusi maksiat dan pembicaraan ‘unfaedah’ alias tanpa makna. Kondisi ini kadang lebih parah manakala para emak-emak pengajian tidak mencacat atau merekam materi yang dikaji.

 

Paling Parah

Semakin runyam lagi ketika tiga hal buruk itu berkumpul menjadi satu. Niat tidak ikhlas, majelis dirusak dengan ghibah dan gossip dan tidak mencatat materi pengajiannya. Aktivitas ngaji pun menjadi majelis yang tidak mendapatkan manfaat ali-alih jadi wahana ngobrol bareng alias arisan antar emak-emak. Pulang-pulang dapatnya materi gunjingan bukan materi pengajian.

Jika seperti ini, program setan, yasyuddukum an sabilillah pun sukses besar.

Semangat mencari ilmu itu harus, tapi juga harus dibarengi dengan niat yang baik. Tanamkan bahwa ngaji bukan sekedar memenuhi kewajiban atau hanya karena ikut-ikutan, tapi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan diri akan ilmu syar’I, seperti butuhnya badan pada nutrisi dan makanan bergizi.

Lalu, tinggalkan hal-hal yang bisa merusak mejelis ngaji ini. Stop berkata-kata, stop pamer dan stop mengobral gosip. Semoga Allah memudahkan urusan orang-orang yang ingin menjadi baik dan semakin baik lagi. Sebagaimana Nabi bersabda,

“Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seseorang, maka Allah akan memahamkan pada orang itu kebaikan (agama Islam).” (Muttafaq ‘alaih)

 Redaksi/Fenomena

Dakwah Viral, Positifkah?

Dunia dakwah kita dikejutkan dengan beberapa fenomena menarik. Beberapa ustadz muda tersandung kalimat yang tidak mengenakkan hati ummat. Mereka pada akhirnya minta maaf dan kemudian umat pun memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.

Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah ketimpangan antara teks dan konteks. Di saat teks berdiri sendiri tanpa konteks maka teks akan mudah disalahpahami. Sementara jika orang hanya melihat pada teksnya saja, mereka akan selalu mudah untuk memvonis hal hal yang mereka tidak ketahui.

Saat seorang dai berceramah dengan metode live, lalu dengan metode ini dakwahnya langsung bisa dinikmati melalu saluran internet, tentu saja para pemirsa online ini tidak secara menyeluruh mengetahui bagaimana konteks itu dibangun. Mereka tidak mengikuti dari awal. Mereka hanya menyimak potongan-potongan video saja. Alhasil mudah sekali bagi mereka untuk mengambil kesimpulan yang keliru.

Tak dapat dipungkiri akhirnya sering muncul salah sikap yang berlebihan. Apalagi jika sang dai memang selama ini ditunggu tunggu kesalahannya. Sehingga saat sang dai melakukan kesalahan, pihak pihak yang tidak suka dengan sangat mudah melakukan sebuah penyerangan.

majalah ar-risalah, ustadz viral
Ustadz Hanan at-Taqi, salah satu ustadz viral di kalangan anak muda

Dakwah Online

Satu sisi memang dakwah online adalah sebuah kebutuhan. Namun di sisi lain para dai harus berhati-hati dengan fenomena ini. Konten yang disampaikan di sebuah masjid dengan pendengar terbatas, tentu sangat berbeda dengan konten yang disebarluaskan secara massif. Apa apa yang disampaikan di dalam masjid tentu saja aman karena tidak tersebar secara bebas. Selain itu juga sangat minim untuk berpeluang disalahpahami. Sedangkan ketika konten dakwah itu keluar masjid dan disebarluaskan tanpa editing, maka penyebutan nama dan yang lainnya bisa menyentuh ranah pelanggaran hukum.

Minimal ketika ada pihak-pihak yang tidak suka, mereka dengan mudah melakukan penyerangan terhadap sosok dai tersebut. Penyerangan yang terjadi bisa dalam bentuk pemberian gelar gelar yang buruk yang tidak produktif untuk keberlangsungan dakwah islam.

Maka ke depan perlu ditata ulang bagaimana mekanisme dakwah via online. Jangan sampai semangat dalam dakwah online membuat para dai lengah dan tidak mempersiapkan diri dengan baik. Memviralkan video itu baik, tetapi juga video yang diviralkan tidak disertai dengan pemahaman akan resiko dan yang lainnya, maka akan menumbuhkan persoalan yang baru.

Setiap dai harus sadar sesadar-sadarnya bahwa ketika mereka berdakwah via online, akan ada banyak orang yang mendengar ucapannya. Akan ada banyak pihak yang mungkin terkena dakwahnya. Sehingga reaksi akan mungkin sangat muncul setelah dakwah disampaikan. Jika para dai sudah mengukur resiko itu maka tidak akan menjadi masalah. Namun, jika ternyata para dai tidak memahami resiko tersebut, dan justru malah memilih serampangan dalam dakwahnya, maka hal ini tentu saja menimbulkan masalah-masalah baru.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 18).

Kecepatan viral sebuah konten dakwah akan berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap dakwah itu sendiri. Jika dai dalam berdakwah melalui dunia maya hanya mementingkan faktor popularitas, maka ini merupakan sebuah tujuan yang salah. Apalagi saat ini banyak dai yang sangat melek dalam dunia medsos. Mereka satu sisi ingin konten dakwah mereka diterima secara luas. Tapi sisi lain mereka harus berani melawan keinginan nafsu mereka untuk terkenal.

Maka ada beberapa dai yang sangat serius menggarap konten dakwahnya dengan memilih tema-tema yang sedang hangat di masyarakat. Bahkan tidak jarang mereka memilih menjadi dai yang penuh kontroversi. Sehingga dampaknya mereka menjadi mudah sekali dikenal dimasyarakat melalui video-video dakwahnya. Hal ini baik baik saja selama niatnya memang semata mata untuk dakwah. Maka setiap dai yang melakukan ini harus terus berupaya membersihkan hatinya dari niat niat yang tidak perlu.

Disaring Sebelum Disharing

Ada baiknya setiap lembaga dakwah memerhatikan soal editing dalam dakwahnya. Memerhatikan apakah jika konten dakwah itu disebar secara viral akan menyebabkan sebuah masalah ataukah tidak. Sebab, prinsip dakwah adalah menyampaikan kebenaran dan bukan mengolok-olok sebuah kesalahan. Jangan sampai kebenaran belum sempat tersampaikan, akan tetapi dakwah sudah terlanjur ditolak oleh pihak pihak lain.

Penyaringan konten dakwah juga dalam rangka untuk menjembatani ketimpangan antara teks dan konteks yang saya sebutkan di awal. Ketika orang hadir dalam majelis bersama dengan ustadz yang menyampaikan, tentu saja berbeda dengan orang yang hanya menyimak secara online. Mereka yang menyimak secara online tidak akan merasakan atmosfer kajian yang ada di masjid itu. Mereka tidak mendapatkan kehangatan dan semangat yang sama.

Lalu apa yang terjadi? Orang-orang yang berada dalam satu majelis bisa jadi merasakan bahwa kesalahan sang ustadz dalam ceramah adalah bagian dari bumbu retorika karena terbawa suasana. Sedangkan orang yang hanya menyimak via online memiliki semangat yang berbeda. Mereka menyimak bukan untuk mencari kebenaran, tetapi mencari kesalahan kesalahan yang mungkin saja dilakukan ustad tersebut.

Harapan ke depan dakwah kita semakin lama semakin banyak menjangkau berbagai kalangan. Tentu saja dengan meminimalkan masalah dan membesar maslahat yang ada. Karena jika yang dibesarkan adalah masalahnya, maka dakwah hanya akan jalan di tempat saja dan tidak ada progress yang berarti.

 

Oleh: Ust. Burhan Shadiq/Realitas

Petaka di Balik Karunia

Melihat bencana tsunami, banyak yang menyimpulkan bahwa semua itu akibat dosa manusia. Ada pula yang mengatakan, itu karena dosa pemerintah yang dipenuhi pejabat korup. Kesimpulan semacam itu tidak salah karena umat terdahulu terkena bencana juga karena dosa. Tapi pertanyaannya, kalau memang bencana itu karena dosa oknum pejabat, lantas mengapa bukan mereka yang diadzab?

Pertanyaan serupa juga akan muncul kalau kita melihat kehidupan orang-orang kafir. Kalau memang dosa mengundang bencana, mengapa orang-orang kafir justru tampak makin sukses dan sejahtera? Bukankah dengan segala kekufuran dan kemaksiatan yang mereka lakukan, mereka jauh lebih layak tertimpa bencana dibanding warga lereng merapi yang sebagian besar muslim?

Atau saat melihat para pengusaha yang makin cemerlang karir dan usahanya, padahal shalat, shaum dan membaca al Quran tak pernah ada dalam agenda harian mereka? atau para pelopor liberlisme yang merusak Islam luar dalam, mengapa mereka justru semakin terkenal dan dikagumi dimana-mana?

Kalau kita masih bingung dengan jawabannya, barangkali kita lupa atau lalai bahwa plot kehidupan manusia tidak selalunya persis seperti alur dalam kisah umat terdahulu; ‘Ad, Tsamud, Sodom, atau Ashabul Aikah. Berdosa, diperingatkan, membangkang lalu diadzab dan habis semuanya.

 

Baca Juga: Hikmah Dibalik Musibah

 

Dosa pasti ada balasannya, kecuali rahmat dan ampunan Allah menghapusnya. Tapi tidak semua dosa dibayar kontan seketika. Ada sebuah skenario dan makar dari Allah yang justru membiarkan para pendosa makin tenggelam dalam dosanya. Seperti balon yang terus ditiup agar semakin menggelembung lalu pecah dengan dahsyatnya. Itulah istidraj. Sebuah makar yang Allah timpakan atas hamba yang berpaling dari peringatan dengan cara membiarkannya berbuat dosa semaunya, memberi tenggat umur, membukakan pintu-pintu kenikmatan dunia berupa kesuksesan, limpahan rezeki bahkan diberikan tabir penutup atas kedurhakaanya. Sebuah makar yang secara perlahan tapi pasti, menyeret si pendosa menuju siksa yang melebihi segala rasa sakit yang ada di dunia.

Sebuah makar yang benar-benar mengerikan. Allah memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki, dan membiarkan sesat siapapun yang dikehendaki. Sedang orang-orang yang dibuai dengan istidraj, seakan-akanAllah memang tidak menghendaki mereka mendapat petunjuk.Bukankah rasa sayang anda akan membuat tangan menjewer telinga jika si kecil nekat melakukan tindakan berbahaya? bukan membiarkannya hingga si kecil pun celaka?

Adakah kita termasuk di dalamnya?

Untuk mengetahuinya, mudah saja. Kita simak riwayat shahih berikut ini:

DariUqbah bin amir, Rasulullah bersabda,

“إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَا صِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ”،ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَ اهُمْ مُبْلِسُونَ

“Jika  kamu melihat  Allah terus saja memberi seorang hamba berbagai kenikmatan dunia yang disukainya, sedang hamba itu senantiasa bermaksiat kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya semua itu adalah istidraj dari Allah. Lalu Rasulullah membaca ayat:Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al An’am: 44)

Ciri-ciri mustadrijin atau orang yang terjebak dalam istidraj adalah ketika nikmat terus saja menghujani, padahal maksiat tak pernah absen saban hari. “Kami kucuri mereka dengan nikmat dan kami buat mereka lupa bersyukur.” Kata Sufyan ats Tsauri. “Setiap kali melakukan kedurhakaan, kami tambah nikmat atas mereka dan kami lupakan mereka dari istighfar.” Kata Abu Rawaq.

Jika  kamu melihat  Allah terus saja memberi seorang hamba berbagai kenikmatan dunia yang disukainya, sedang hamba itu senantiasa bermaksiat kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya semua itu adalah istidraj dari Allah

Nikmat yang melimpah di atas dosa yang menggunung, akan menjadikan vonis di akhirat semakin berat. Sedang tenggang umur yang diberikan hanya akan memperpanjang daftar tuntutan dan mempersempit celah pembelaan.Wal iyadzub billah, semoga kita tidak termasuk di dalamnya.

Banyak yang terjebak

Meskipun al-Quran dan sabda Rasul telah memberitahukan makar ini dengan sangat jelas, tapi tetap saja banyak manusia yang terjebak. Sebab, kebanyakan manusia menganggap bahwa karunia dan nikmat duniawi adalah kemuliaan dari Allah, sedang ketiadaannya adalah petaka dan murka dari-Nya. Persis seperti yang digambarkan dalam ayat berikut:

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata:”Rabbku telah memuliakanku”. (QS. al-Fajr: 15)

Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata:”Rabbku menghinakanku”. (QS. al-Fajr: 16)

Karenanya, meskipun bermaksiat, banyak yang menyangka Allah sangat menyayanginya dengan pertanda nikmat dan karunia yang tiada putusnya. Memang, berbaik sangka pada Allah itu harus. Tapi jika kita merasa masih jauh dari sebutan hamba bertakwa, maka terhadap limpahan nikmat, selain bersyukur kita juga harus waspada. Jangan sampai terlena karena makar istidraj datang dari arah yang tidak disangka-sangka.Ulama berkata, “Setiap nikmat yang tidak membuat kita semakin dekat dengan Allah, sejatinya adalah siksa, dan segala anugerah yang memalingkan kita dari Allah hakikatnya adalah bencana.”

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Orang mukmin melakukan kebaikan sembari berharap-harap cemas, sedang pendosa melakukan kedurhakaan dan merasa dirinya aman.”

Allah berfirman,

“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS. al-Qalam: 44-45)

Wallahua’lam.

 

Redaksi/Tadzkirah

Jebakan Setan untuk Orang Awam

Orang awam. Tentunya, kata ini sangat familiar di telinga kita. Kata awam diambil dari kata ‘am yang artinya umum. Orang awam maksudnya umumnya orang atau orang kebanyakan. Istilah ini mengarah pada mayoritas manusia yang jauh dari ilmu dan ulama. Sehingga, kualitas amal mereka tipis, setipis ilmu yang dimiliki.

Nah, apakah diri kita awam atau bukan?

Kebanyakan kita mendekatkan definisi awam pada orang-orang yang belum ikut pengajian tertentu atau belum ikut jamaah atau organisasi tertentu. Sedang kita, yang sudah ikut kajian rutin kitab ini bersama ustadz ini, kajian halaqah intensif ini, ikut organisasi keislaman ini dan itu, sudah tidak lagi merasa awam.

Sebenarnya sah-sah saja kita mengklaim demikian. Toh awam dan bukan awam hanyalah istilah yang tidak membawa implikasi dan konsekuensi yang berarti. Artinya, awam atau bukan, beban kewajiban syariat sama dan pahala/dosa yang dijanjikan juga tidak berbeda. Hanya saja, kadangkala kita merasa bahwa kita lebih baik dari mereka, orang awam pada umumnya. Jika begini, ada baiknya kita merenungi apa yang disampaikan Ibnul Jauzi dalam kitabnya “Talbisul Iblis”. Dalam salah satu bab, beliau memaparkan bagaimana tentara Iblis memperdayai awamun nas, orang-orang awam. Baik dari sisi keyakinan maupun kebiasaan. Artinya, keterangan itu bisa menjadi cermin dan barometer bagi kita, apakah perasaan sedikit ujub bahwa “aku bukan orang awam” ini sesuai dengan diri kita atau belum? Sebab, jika ternyata kita masih terpedaya dengan jerat setan yang dipasang untuk orang awam, maka bukankah level kita sebenarnya tidak jauh dari mereka?

 

Masing-masing Ada Jebakannya

Lain ladang lain belalang. Lain orang, lain pula sifatnya. Karenanya, jerat yang dipasang setan untuk menjerat masing-masing orang pun berbeda. Terhadap yang berilmu, ada jerat ujub dan takabur, kepada yang cenderung sufi, ada jerat karamah dan ilham hingga mereka begitu mengagungkan keduanya, dan terhadap ahli ibadah dipasanglah jerat ifrath, berlebih-lebihan dalam beribadah.

Nah, beliau juga menjelaskan bahwa setan memiliki cara tersendiri untuk menjebak orang-orang awam. Minimnya ilmu akibat jauhnya mereka dari ulama dan tradisi keilmuwan membuat jalan setan semakin lempang.

Baca Juga: Maraknya Tren Membeda-bedakan Ustadz dan Ulama’

Kita mulai dari jerat hati. Bala tentara setan menjebak mereka ke dalam keyakinan timpang dalam memahami rahmat Allah. Begitu yakin dengan ampunan Allah dan mengabaikan sama sekali ancaman-Nya. Hati lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat kabar gembira daripada ancaman dan peringatan. Sehingga, dalam berbagai pengajian dan majelis ilmu, ayat dan hadits yang dipilih melulu nash-nash yang berisi kabar gembira, janji pahala sekian dan sekian untuk amalan ringan, ampunan Allah dan surganya dan sebagainya. Akibatnya, mereka memiliki optimisme yang kebablasan. Merasa bahwa sebesar apapun dosa yang dilakukan, Allah pasti mengampuni.

Mereka dibuat lupa bahwa rahmat dan ampunan itu hanya diperuntukkan bagi yang bertaubat dari kesalahan. Bukan yang berbuat dosa, sembari terus menipu nurani yang menjerit dengan meyakinkan diri bahwa Allah pasti mengampuninya. Padahal Allah berfirman,

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى

Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. (QS. Thaha: 82).

 

 وَسِعَتْ كُلَّ شَىْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ

“…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al A’raf: 156).

Abu Amru bin al-Ala’ menceritakan ada seseorang yang suka menuduh orang berzina, ketika ditanya, mengapa suka berbuat seperti itu? Ia malah balik bertanya, “Jika aku berbuat salah kepada orangtuaku seperti aku berbuat salah kepada Rabbku, apa kau kira kedua orangtuaku akan tega melemparku ke dalam tungku berisi bara panas?” Dijawab, “Tentu saja tidak.”Ia berkata, “Aku lebih yakin dengan kasih sayang Rabbku daripada keduanya.” (Talbis Iblis, Ibnul Jauzi).

Persepsi yang salah kaprah karena rahmat Allah itu bukan seperti kasih sayang yang menjadi tabiat manusia. Sebab kalau demikian, tidak akan ada syariat menyembelih hewan atau manusia yang dimasukkan neraka. Dalam pikirannya, seakan-akan Allah tidak mengazab kecuali yang menjadi musuh-Nya, padahal dengan bermaksiat ia telah memposisikan diri sebagai musuh-Nya.

Baca Juga: Momentum Persaudaraan dan Optimisme Kebangkitan

Dari pola pikirnya, setan menjebak mereka pada sikap taqlid yang membabi buta pada adat warisan nenek moyang. Tak peduli salah atau benar, adat warisan itu mereka jaga dan lestarikan. Mereka beralasan, toh warisan-warisan itu tidak ada yang menabrak ritual-ritual ibadah seperti shalat dan lainnya. Malah, jika dipelajari ada filosofi-filosofi agung yang terkandung di dalamnya.

Memang, rata-rata adat warisan itu tidak menabrak ibadah, tapi tidak sedikit yang menabrak akidah, keyakinan seorang muslim, karena mengandung kesyirikan. Atau mengandung bidah yang diharamkan, amalan yang lebih disukai Iblis daripada dosa besar.

Jebakan yang lain, setan membuat mereka yakin dan mudah terpengaruh dengan pernyataan dukun atau paranormal dan tukang ramal. Kalaupun tidak mengikuti dan mentaati, paling tidak mereka enggan menyanggah. “Percaya tidak percaya” katanya.

Dari sisi perilaku, Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa setan menjebak orang awam dengan beberapa kebiasaan buruk. Diantaranya; meremehkan penutup saat buang air. Pernahkah anda melihat seseorang buang air kecil disamping mobilnya yang diparkir di pinggir jalan? Biasanya dilakukan tepat di samping roda mobil. Atau saat melewati jembatan, tidak sekali dua kali kita melihat ada yang sedang asyik ‘bertapa’ membuang hajatnya di sungai tanpa penutup apapun.

Mereka juga dijebak pada kebiasaan bersumpah untuk hal-hal remeh. Dengan entengnya sumpah atas nama Allah kerap terucap layaknya bumbu omongan belaka. Lebih parah lagi jika sumpah hanya dijadikan kedok untuk menutupi kedustaan.

Orang-orang awam juga sering dijebak dengan sikap meremehkan hak suami atau isteri. Beliau mencontohkan, ada yang waktu menikah masih memiliki tanggungan hutang mahar kepada isterinya. Ia menyangka bahwa setelah sekian lama menjalani hidup bersama, isterinya telah mengikhlaskan kekurangan hutangnya dan mahar pun tidak dibayar.

Satu hal lagi, mereka juga dijebak untuk lebih menyukai amalan sunah bahkan bid’ah daripada amalan wajib. Mereka begitu rajin dan bersemangat melaksanakan shalat atau shaum-shaum aneh dan tak terlalu tertarik dengan shalat dan shaum-shaum sunah.

Nah, adakah kita masih sering terperangkap dalam jerat-jerat seperti di atas? Semoga tidak. Semoga Allah menjadikan kita hamba-Nya yang terpilih untuk berlaku lurus di dunia, ahli ilmu dan amal dan terjaga dari berbagai tipu daya setan. Amin.

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Manajemen Hati

 

 

Etika Islam Dalam Menerima Sebuah Berita

Beberapa hari ini, timeline kabar berita di media massa dan sosial media dipenuhi dengan berita tentang kabar bohong (hoax) yang dibuat oleh seorang aktivis dan pegiat kemanusiaan. Banyak orang percaya dengan apa yang telah ia sampaikan. Mulai dari orang biasa, politikus,  sampai beberapa pendakwah yang mempercayainya. Tapi, banyak juga yang menyangsikan dan tidak percaya dengan apa yang sudah ia tuturkan.

Dalam menyikapi sebuah kabar atau berita, Islam punya etika yang harus dijaga dan diamalkan. Mari kita simak sedikit tulisan ini.

 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Al-Harits menghadap Rasulullah ﷺ. Ia berikrar menyatakan diri masuk Islam. Rasulullah ﷺ pun mewajibkannya mengeluarkan zakat, ia sanggupi kewajiban itu dan berkata, “ Ya Rasulullah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang-orang yang mengikuti ajakanku akan aku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah aku kumpulkan.”

Ketika waktu yang ditetapkan telah tiba, tak seorang utusan pun menemuinya. Al-Harits mengira Rasulullah ﷺ marah kepadanya. Ia pun telah memanggil para hartawan kaumnya dan berkata, “Sungguh, Rasulullah ﷺ telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rasulullah ﷺ.”

Pada saat yang sama, Rasulullah ﷺ, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, mengutus Al- Walid bin Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada Al- Harits. Ketika Al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai di tujuan. Ia membuat laporan bahwa Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan membunuhnya.

Kemudian Rasulullah ﷺ mengirim utusan berikutnya kepada Al-Harits. Di tengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan Al-Harits dan sahabat- sahabat nya yang tengah menuju Madinah. Setelah berhadap-hadapan, Al-Harits  bertanya, “Kepada siapa engkau diutus?” Utusan itu menjawab, “Kami di utus untuk menemuimu.” Dia bertanya, “Untuk apa?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah mengutus Al-Walid bin Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya.” Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak pernah melihatnya. Bahkan belum ada utusan datang menemuiku.”

Ketika mereka sampai dihadapan Rasulullah, bertanyalah beliau, “Mengapa engkau menahan zakat dan ingin membunuh utusanku?” Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus engkau sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Atas kejadian itu turunlah ayat agar kaum mukminin agar tidak hanya menerima keterangan dari sebelah pihak.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Syaikh  Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi menjelaskan bahwa Ayat  tersebut menunjukkan dua hal:

  • Pertama, berita yang dibawa orang fasik harus diteliti kebenarannya terlebih dahulu.
  • Kedua, para pakar Ilmu Ushul Fikih membuat kaidah bahwa sebuah berita dapat diterima bila dibawa oleh orang yang adil.

As-Shakhawi berkata, “Ibnu Abdi Bar memandang bahwa penilaian negatif  terhadap ahlul ilmi tidaklah diterima kecuali dengan argumen yang jelas. Apabila penilaian negatif tersebut disertai dengan unsur permusuhan maka penilaian itu tidak diterima.” (Fathghul Mughits III: 328)

Lalu siapakah orang fasik yang dimaksud ayat di atas? Syaikh Muhammad Shalih bin Fauzan Al-Fauzan mendefinisikan ‘Fasik’ dengan ‘al-khuruj an thaatillah’. Yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah. Suatu titik di mana terjadi kegersangan iman pada diri seorang muslim. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menyebut fasik sebagai ‘al-maashi’ atau orang yang melakukan kemaksiatan. Sedangkan As-Sa’di mengartikan, “Seseorang yang pernah melakukan dosa besar dan seringkali melakukan dosa kecil.”

Sudah jelaslah siapa orang fasik itu. Saat titik iman kita berada di titik lemah keimanannya, kita bisa dicap sebagai orang fasik. Karena kita hanyalah orang biasa yang tak lepas dari dosa. Kewaspadan terhadap suatu kebenaran berita pun harus kita tumbuhkan sejak kini, karena tidak menutup kemungkinan, orang-orang yang membawakan berita tengah berada dalam kegersangan iman.

 

Meneliti Setiap Berita

Saat mendengar suatu kabar, baik dari mulut ke mulut ataupun dari media massa dan sosial media banyak orang yang cenderung percaya dan menelannya mentah-mentah tanpa filter sama sekali. Seakan segera meng ‘amini’ apa yang diberitakan. Kadang, tanpa peduli apakah berita itu benar ataukah salah. Padahal Allah telah mengajarkan etika yang harus kita lakukan tatkala suatu berita sampai kepada kita.

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”. (QS. Al Hujurat: 6)

Mari kita memeriksa dengan teliti, inilah etika yang dianjurkan Allah kepada kita. Memilah milih dan mengecek kembali kebenaran suatu berita. Dalam ilmu jurnalistik hal ini disebut dengan ‘kroscek’. Menggali kebenaran kabar yang masih menjadi buah bibir dan kesimpangsiuran di tengah masyarakat luas. Digali dari sumber-sumber dan data-data yang bisa dijadikan landasan dan bisa dipertanggungjawabkan salah-benarnya suatu berita.

Etika ini sangat penting untuk dipegang. Terutama saat isu dan berita bohong semakin cepat menyebar dan tak terbendung. Tidak sedikit pula kabar tidak benar yang menghiasi pemberitaan media kita. Ironisnya, kebanyakan pemberitaan itu menyudutkan kemuliaan Islam. Satu contoh; masih segar dalam ingatan kita, ketika stasiun TV swasta dan beberapa kanal media daring beberapa waktu lalu menyebut ROHIS sebagai lahan rekrutmen teroris. Fitnah ini melahirkan stigma terhadap ekstrakurikuler ROHIS sebagai sarang melahirkan bibit teroris. Sejak tayangan itu, tidak sedikit orang tua siswa yang melarang anaknya mengikuti kegiatan ROHIS. Padahal, ROHIS yang selama ini berjalan hanyalah kegiatan ekstrakurikuler sekolah yang bertujuan membentengi siswa dari pengaruh negatif pergaulan remaja. Sama seperti kegiatan ekskul yang lain. Dan beberapa pemberitaan negatif lainnya.

Baca Juga: Di Balik Media

Derasnya pemberitaan yang tidak obektif tersebut membuat massa bertanya-tanya. Jangan-jangan hal itu terjadi by design atau direncanakan oleh pihak-pihak tertentu. Memang benar komentar Hittler, tokoh Nazi, yang pernah mengatakan, “satu kesalahan yang ditayangkan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran dan akan dibenarkan.” Ya, begitulah sifat arus informasi. Suatu hal yang kita anggap tabu pada walnya akan menjadi suatu hal yang lumrah dan dianggap biasa jika hal itu disajikan berulang kali.

[bs-quote quote=”Derasnya pemberitaan yang tidak obektif membuat massa bertanya-tanya. Jangan-jangan hal itu terjadi by design atau direncanakan oleh pihak-pihak tertentu. Memang benar komentar Hittler, tokoh Nazi, yang pernah mengatakan, “satu kesalahan yang ditayangkan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran dan akan dibenarkan.” Ya, begitulah sifat arus informasi. Suatu hal yang kita anggap tabu pada walnya akan menjadi suatu hal yang lumrah dan dianggap biasa jika hal itu disajikan berulang kali.” style=”default” align=”center” color=”#2f7cbf”][/bs-quote]

Konsekuensi lain, pembuat berita bohong, bila pelakunya orang islam, akan membuat stigma buruk pada kaum muslimin. Seolah-olah masyarakat serempak akan berkata, “orang islam kok bohong”

Mengkroscek suatu berita adalah etika seorang muslim. Meskipun kita belum pernah mengenyam pendidikan komunikasi ataupun mengikuti seminar jurnalistik, menilik kembali berita yang sampai kepada kita, harus kita usahakan. Agar kita tidak larut dalam arus informasi yang tanpa ada filter benar bohongnya saat ini. Dan agar kita tidak asal latah menyebarkan berita, yang imbasnya kita juga yang akan mendapat stigma buruk di hadapan manusia dan dosa dihadapan sang Pencipta.

 

Belajar dari Periwayatan Hadits Bukhari

Lepaskan dulu fakta memilukan di atas, mari meluncur ke zaman Imam Bukhari sejenak, mengambil hikmah dari apa yang pernah beliau terapkan.

Ada sebanyak 7.275 hadits terdapat di Shahih Bukhari, beliau memilihnya dari 600.000 hadits. Semua ini karena beliau sangat teliti dalam menerima periwayatan hadits. Beliau memberikan syarat khusus dalam periwayatan seorang rawi hadits, yaitu seorang perawi harus  melihat dan sekaligus mendengar secara bersamaan. Ini adalah satu syarat disamping syarat tsiqah (terpercaya), ‘adalah (adil), dhabth (kuat hafalan), Itqan (profesional), ‘ilm (tahu benar), wara’ (jauh diri dari maksiat, dosa, dan syubhat).

Imam al-Bukhari tidak sekalipun meletakkan suatu hadist dalam kitabnya, kecuali beliau pasti mandi atau bersuci sebelum itu, kemudian shalat dua rakaat. Beliau mulai menulis kitabnya dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Beliau tidak tergesa-gesa merilis kitab kumpulan hadit tersebut sebelum menyelesaikannya. Beliau berulang kali mengoreksi dan meneliti ulang. Bahkan beliau menyusunnya sampai tiga kali hingga terbit dalam bentuk yang sekarang ini kita kenal.

Seandainya pewarta dan jurnalis hari ini seperti Imam Bukhari yang begitu teliti kala itu, kita tidak akan lagi resah dan ragu mendengar pemberitaan dan informasi di berbagai media hari ini. Wallahu A’lam.

Ditulis Oleh: M. Nasrul, di rubrik makalah, majalah ar-risalah edisi: 139 (dengan sedikit penyesuaian)

 

Hikmah di Balik Musibah

Sekilas, musibah memang tampak sebagai keburukan adanya. Namun bagi seorang mukmin, hal itu mengandung kebaikan tiada tara. Jika Allah Ta’ala menguji hamba-Nya dengan bala’, tidaklah hal itu bertujuan untuk menyengsarakan hamba-Nya. Akan tetapi Dia menimpakan bala’ adalah untuk menguji kesabaran dan kesungguhan ibadahnya. Karena bagi Allahlah ibadah seorang hamba tatkala berada dalam kesempitan, sebagaimana bagi-Nya pula ubudiyah hamba di kala lapang. Bagi-Nyalah ubudiyah hamba dalam perkara yang tidak ia suka, sebagaimana bagi-Nya pula ubudiyah hamba dalam perkara yang dia suka.

Kebanyakan manusia hanya mempersembahkan ubudiyah dalam hal-hal yang sesuai dengan seleranya saja, namun bakhil untuk memberikan ubudiyah dalam hal yang tidak mereka suka. Oleh karena itulah kedudukan hamba itu bertingkat-tingkat di sisi Allah sesuai dengan tingkatan ubudiyahnya kepada-Nya. Wudhu dengan air dingin dalam suasana yang amat panas adalah ibadah, bermuka manis di hadapan istri cantik yang dicintai adalah ibadah, memberikan nafkah kepadanya, keluarganya dan dirinya sendiri adalah ibadah. Demikian halnya wudhu dengan air dingin di saat suasana yang sangat dingin adalah ibadah, meninggalkan maksiat di saat nafsu sangat menginginkannya bukan karena takut pada manusia adalah ibadah dan menafkahkan hartanya di kala sempit merupakan ibadah. Akan tetapi (kendati sama-sama ibadah) ada perbedaan tingkatan yang jauh antara dua macam ibadah di atas.

Maka barangsiapa mampu menghamba kepada Allah dalam dua keadaan tersebut, menegakkannya di kala benci dan cinta, maka dia akan memperoleh apa yang difirmankan Allah:

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar: 36)

Kecukupan yang sempurna didapat dengan ubudiyah yang sempurna, kekurangan disebabkan pula karena kurangnya sifat ubudiyah. Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan hendaknya memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, janganlah mencela melainkan kepada dirinya sendiri.

 

suasana masjid di Palu yang terkena dampak gempa bumi dan tsunami
suasana masjid di Palu yang terkena dampak gempa bumi dan tsunami, Oktober 2018

Dosa dihapus, Pahala Dilipatgandakan

Bagi seorang mukmin, musibah yang menimpanya; gempa bumi, tsunami, banjir dan bencana dari alam lainnya, atau musibah yang menimpa hanya dirinya, berupa hilangnya sesuatu yang dicintainya atau luputnya harapan yang didambakannya adalah pintu kebaikan yang dibuka oleh Allah untuknya. Dia akan memasukinya dengan kunci kesabaran, hingga bersihlah dosa-dosanya:

مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا

“Tiada suatu musibah menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapus dosa karenaynya, kendati hanya duri yang mengenainya.” (HR. Al-Bukhari)

Bukan saja diampuni dosa-dosanya, orang yang bersabar juga mendapatkan pahala yang besar:

“kecuali orang-orang yang sabar, dan mengerjakan amal-amal shalih; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud: 11)

Bahkan Allah menyediakan pahala baginya ‘bighairi hisaab’, tanpa hitungan. Allah juga memberikan tiga karunia baginya, di mana masing-masing lebih baik daripada dunia dan seisinya, yakni shalawat dari Allah, rahmat-Nya dan hidayah-Nya. Bahkan, jannah yang disediakan oleh Allah hanya diberikan bagi mereka yang sanggup bersabar. Sehingga sambutan malaikat penjaga jannah kepada hamba-hamba Allah yang memasukinya adalah:

“Salamun `alaikum bima shabartum” (Selamat atas kalian karena kalian telah bersabar). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’du: 24)

Karena besarnya keutamaan sabar itulah maka para Nabi mendapatkan ujian yang paling berat, hingga mereka menjadi manusia yang paling utama pula di dunia dan akhirat.

 

Rukun Sabar

Sabar merupakan tuntutan, juga sarat dengan keutamaan dan kebaikan, namun banyak orang yang gagal mewujudkan, atau salah terapan karena minimnya pengetahuan akan rukun-rukun yang berhubungan dengan kesabaran.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan: “Adapun rukun sabar adalah menahan jiwa dari perasaan jengkel terhadap takdir yang menimpa dirinya, mencegah lisan mengeluh dan menjaga anggota badan dari berbuat maksiat seperti menampar pipi, merobek baju, menjambak rambut (karena histeris) dan semisalnya. Maka ruang lingkup sabar berkisar pada tiga rukun tersebut, jika seorang hamba menegakkan sebagaimana mestinya, niscaya ujian akan berubah menjadi anugerah, bala’ menjadi karunia dan benci menjadi rasa cinta.”

Ya Allah, wafatkanlah kami termasuk golongan orang-orang yang bersabar, Aamiin

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kajian

Dakwah: Mencari Kawan Atau Mencari Lawan?

Dalam sebuah kesempatan, seorang dai sedang berapi-api menyampaikan materinya. Saking semangatnya, banyak kalimat yang tidak dia edit sebelumnya. Meluncur deras begitu saja. Tanpa peduli siapa jamaahnya. Respon pun bermunculan. Sesama hadirin saling menatap satu dengan yang lain. “Lho kok isinya seperti ini?”

Padahal sang dai baru beberapa pekan tinggal di pemukiman itu. Tapi tanpa survey tanpa tanya, segala materi dia sampaikan apa adanya. Lugas dan tanpa basa basi. Kontan saja penolakan terjadi. Minimal sang dai tidak diundang lagi, atau dia bahkan bisa saja diusir dari pemukiman itu.

Fenomena semacam itu acapkali terjadi di masyarakat kita. Orang menolak dakwah yang disampaikan. Pilihannya ada dua, satu kesalahan pada si penyampai. Yang kedua karena memang masyarakat belum atau tidak siap dengan materi yang disampaikan.

Pendakwah tidak melihat dengan siapa dia berbicara. Tahap pemahaman agamanya bagaimana, apa latar belakang organisasi mereka dan lain lain. Ia hanya melihat bahwa ia harus menyampaikan. Tanpa memahami bagaimana sikap atau kesiapan jamaah dalam merespon dakwahnya.

Kemungkinan kedua, adalah penerima tidak dalam kondisi siap untuk menerima nasihat. Ia susah mendapatkan nasihat dari orang lain. Cenderung dipengaruhi hawa nafsu dan tidak siap untuk berubah. Kondisi ini membuat dia menolak dakwah karena hawa nafsunya.

Baca Juga:
Istri Shalihah Pendukung dakwah

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. Seorang laki-laki bertanya: “Ada seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?) Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. [HR. Muslim, no. 2749, dari `Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu]

Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu -hafizhahullâh- berkata: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mengutus para Rasul kepada manusia, dan memerintahkan mereka dengan dakwah untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya. Namun mayoritas umat mendustakan para rasul. Mereka menolak al-haq yang telah diserukan kepada mereka, yaitu tauhid. Maka akibatnya adalah kehancuran.”  (dalam kitab Minhajul-Firqah an-Nâjiyah)

Maka jika memang dakwah kita masih awal-awal, sebaiknya kita memperkuat kekuatan dakwah kita. Yakni dengan mencari kawan dan bukan malah mencari lawan. Kawan kawan yang akan memberikan dukungan dakwah kepada kita. Saling bahu membahu menguatkan dakwah di wilayah tempat tinggal kita.

 

Lawan Tidak Perlu Dicari

Sebuah resiko dalam amal shalih adalah para penentang dan para pembenci. Mereka tidak akan rela jika ada amal shalih yang dilakukan oleh umat Islam. Mereka akan melakukan apa saja untuk menghalangi dakwah. Karena memang sebuah keniscayaan, manakala anda mengibarkan bendera dakwah akan muncul orang-orang yang tidak suka dengan hal tersebut.

Lalu apakah anda akan surut? Tentu saja tidak. Maka prioritas dalam dakwah bukan mencari musuh. Sebab tidak perlu dicari pun musuh akan dengan serta merta menyambut dakwah dengan permusuhan. Sebab mereka berada di jalan yang berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh umat ini.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thâghût”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [QS. an-Nahl: 36]

Banyak orang justru merasa bahwa berdakwah berarti mencari musuh. Menyampaikan hal-hal yang dirasa banyak dipertentangkan, dan mengabaikan unsur-unsur yang mendatangkan persatuan. Lalu mereka sibuk dengan mencela saudaranya satu dengan yang lain. Tidak merasa perlu untuk menyusun kekuatan umat, tetapi malah sibuk dengan urusan-urusan yang bisa memperkeruh suasana.

Sehingga seseorang yang seharusnya bukan musuh, malah diposisikan sebagai musuh. Seseorang yang seharusnya dirangkul, malah dipukul. Seseorang yang semestinya diajak kerja dakwah bersama, malah dihajar bersama-sama. Ini sebuah kerja dakwah yang kontra-produktif. Sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.

Baca Juga:
Suami Sibuk Dakwah, Keluarga Resah

Maka menjadi penting bagi para dai untuk fokus pada persoalan. Jangan sampai justru malah menambah persoalan-persoalan baru yang tidak perlu ada. Jadikanlah kawan sebagai sebenar-benarnya kawan. Diperlakukan sebagai kawan akrab. Diajak bersinergi dalam kebaikan dan dalam dakwah. Sedangkan musuh, jadikanlah ia musuh. Diperlakukan sebagai musuh dan disikapi secara proporsional.

Dakwah adalah bagaimana kita mampu menguatkan sisi kekuatan dan potensi dai. Bukan malah menceraiberaikan sebuah persatuan, dan menghadirkan sebuah perpecahan perpecahan. Galanglah kekuatan kekuatan umat. Menuju pada sebuah kemajuan dakwah yang kuat. Bukan malah mendatangkan sebuah persoalan yang akan membuyarkan tujuan.

 

Oleh: Ust. Burhan Shadiq/Bekal Dakwah

Lampu Merah dan Kemacetan Jadi Motivasi Untuk Menghafal Al-Qur’an

Sebuah akun Facebook milik Meirna Nurdini Thomas mengunggah foto unik. Seorang  pengendara motor sedang membaca Al-qur’an ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Foto tersebut sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial.

Foto lelaki tersebut unik karena kebanyakan orang tidak menggunakan waktu saat menanti lampu merah untuk sesuatu yang bermanfaat. Ternyata, kondisi yang pada umumnya menjadikan banyak orang merasa resah ini dapat diubah menjadi sebuah berkah.

Ada sebuah kisah seorang pemuda yang berhasil menghafalkan surat Al-Baqarah saat menanti lampu merah. Pemuda ini sengaja menyimpan mushaf di mobilnya. Ketika lampu merah menyala, ia membuka mushaf dan membacanya. Tak sekadar membaca, ia mencoba menghafalkan satu dua baris ayat Al-Qur’an. Bahkan ia berhasil menyelesaikan hafalan surat Al-Baqarah sepenuhnya di tengah lampu merah. 

Dalam situs Isykarima.com, disebutkan ada metode khusus yang bisa dilakukan bagi yang berminat menghafal selagi menunggu lampu merah. Metode ini disebutkan dalam kitab Kaifa Tahfazhul Qur’an Al-Kariim (Bagaimana Cara Menghafal Al-Qur’an Al-Karim) karya Dr. Yahya bin Abdurrozaq Al-Ghautsaniy.

Baca Juga: Momentum Persaudaraan dan Optimisme Kebangkitan

Caranya, kita dapat mengkopi lembaran mushaf yang hendak dihafal. Letakkan foto kopian mushaf tadi di depan mobil atau kendaraan dan usahakan tidak mengganggu pemandangan Anda ketika menyetir. Ketika hendak berangkat ke kantor ataupun aktivitas lainnya di pagi hari, bacalah ayat pertama pada lembaran mushaf yang difoto kopi tadi. Ulangi bacaan tadi selama perjalanan.

Kemudian ketika Anda merasa bahwa ayat tadi sudah mudah dihafal, ulangi bacaan ayat tadi tanpa melihat mushaf. Saat berhenti di lampu merah, baca ayat selanjutnya berulang-ulang. Ketika sudah berganti dengan lampu hijau, ulangi ayat tadi tanpa melihat mushaf dan mulailah menghafal ayat tersebut.

Yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode ini adalah penjagaan terhadap lembaran mushaf yang difoto kopi tadi. Simpan foto kopian lembaran mushaf tadi setelah dihafal, bisa jadi sewaktu-waktu Anda masih membutuhkan lembaran itu. Akan lebih baik bila lembaran-lembaran mushaf tadi dilaminating supaya lebih terjaga dan lebih rapi. Jangan meletakkan lembaran tadi sembarangan, karena lembaran itu berisi kalamullah yang harus kita agungkan.

Metode ini bisa juga diterapkan bagi orang-orang yang berpergian dengan kendaraan umum. Bagi Anda yang berkendaraan umum atau yang tidak duduk di belakang kemudi, sangat memungkinkan untuk mempraktekkan metode ini. Syeikh Abdul Karim Al-Yamani, seorang penggiat Tahfizhul Qur’an dari Hay’ah Litahfizhil Qur’anil Karim (Lembaga Internasional untuk Tahfizhul Qur’anil Kariim), mengatakan bahwa sangat memungkinkan untuk menghafal Qur’an saat lampu merah di Indonesia, terutama kota besar seperti Jakarta. Banyaknya lampu merah dan seringnya macet memungkinkan seseorang untuk menghafal Qur’an selama perjalanan.

Syeikh Suud Suraim, seorang Imam Masjidil Haram yang hafalannya sangat mutqin ternyata juga memanfaatkan lampu merah untuk menghafal Al-Qur’an. Beliau menyelesaikan hafalan surat an-Nisaa di lampu merah.

Baca Juga: Maraknya Tren Membeda-bedakan Ustadz dan Ulama’

Jadi, menghafal al-Qur’an bukanlah soal tingginya tingkat kecerdasan seseorang, namun lebih pada tekad dan kemauan keras mencapai derajat mulia di sisi Allah dengan memanfaatkan setiap potensi dan waktu meskipun sedikit demi sedikit. Bahkan kesulitan dalam menghafal sehingga mengulangi bacaan juga menambah pahala bagi yang melakukannya.

Selain cara tersebut, para ulama juga telah mengajarkan cara mudah menghafalkan al-qur’an. Antara lain:

    1.Tidak memperbanyak menghafal melebihi kapasitas kemampuan sehingga tidak timbul kejenuhan dan senantiasa energik untuk menghafal pada hari-hari berikutnya.

    2.Bergabung dengan kumpulan Halaqoh penghafal  qur’an atau menghafal kepada Syaikh; karena hal ini akan menjadikan berkesinambungan.

    3.Memahami ayat–ayat sebelum menghafal, hal ini akan memberikan motifasi tersendiri bagimu dan akan lebih melekat dalam benak dan yang demikian dengan mentelaah Tafsir Muyassar.

    4.Memberikan porsi muroja’ah hafalan yang lebih banyak dibanding waktu untuk menghafal. Dari Abu Musa dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Hendaklah kalian senantiasa menjaga hafalan kalian, maka demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditanganNya; sesungguhnya Al-Qur’an itu akan lebih cepat hilangnya dari pada onta yang diikat pada tambatannya”. Hadits riwayat Muslim (791).

    5.Tidak bergonta–ganti dalam menggunakan mushaf Al Qur’an, sehingga bentuk lembar dan halamannya tergambar dalam benak dan ingatan.

    6.Memperbaiki tilawah beserta hafalan dihadapan Qori’ Al-Qur’an.

    7.Banyak mendengarkan tilawah para Qori’ yang Tersohor.

    8.Mengamalkan dan melaksanakan apa yang  telah anda hafalkan dan hal ini merupakan tujuan puncak keutamaan.

    9.Laksanakan Qiyamullail dengan menerapkan apa yang anda hafal dari Al Qur’an atau anda memperdengarkan untuk diri anda sendiri pada saat shalat disiang hari.

    10.Memperbanyak berdo’a dan senantiasa memohon Taufiq kepada Allah.

 

Oleh: Ust. Muhtadawan/Biah


Dapatkan Majalah Islami untuk Keluarga Muslim Indonesia Hanya di Agen Terdekat di Kota Anda. Info Keagenan dan Langganan Silahkan Hubungi Nomer Berikut: 0852 2950 8085

Momentum Persaudaraan dan Optimisme Kebangkitan

Berkumpulnya kaum muslimin di Monas pada 2 Desember 2017 silam menumbuhkan optimisme bahwa kaum muslimin bisa bersatu. Kaum muslimin adalah satu kesatuan umat, meski mereka memiliki pemahaman yang beragam dengan pilihan madzhab. Sebab Rabb mereka satu, Nabi mereka adalah satu, dien mereka satu, kiblat mereka satu, pedoman hidup mereka satu, dan tujuan hidup mereka satu.

Ikatan yang mengumpulkan mereka semoga adalah ikatan yang kokoh dan kuat yaitu ikatan iman. Sehingga mereka betul-betul menjadi kesatuan yang kokoh. Sebab masyarakat yang tidak terorganisasi menyimpan kerapuhan; kekuatannya terpecah, sinyal emosinya berbeda sehingga melakukan tindakan-tindakan yang tidak terkoordinir dan menurut perpektif masing-masing.

Bertemunya fisik hanya simbolis yang tak menghasilkan amal nyata. Keunggulan individu mengalami disfungsi alih-alih menjadi solusi. Masing-masing muncul dan merasa benar sendiri, bahkan bisa saling melumpuhkan satu sama lain. Keberagaman dalam bingkai ahlus sunnah yang seharusnya saling mengokohkan, “kal bunyanin,” seperti sebuah bangun justru menjadi sumber perpecahan. Yang mutaghayirat dianggap tsawabit, dan sebaliknya. Ikatan iman adalah prasyarat utama persatuan. Dalam ikatan iman tak ada sekat warna dan kasta.

Baca Juga: Maraknya Tren Membeda-bedakan Ulama & Ustadz

Maka persatuan adalah hal pertama yang dilakukan Nabi di Madinah. Taakhi, mempersaudarakan dalam ikatan iman. Ikatan iman telah berhasil menyatukan berbagai kabilah bangsa Arab yang semula terjebak dalam perang saudara tiada ujung. Dalam masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah keunggulan individu terwadahi dan meledaklah potensi besar dari masing-masing individu.

Maka setelah persatuan, yang mesti dilakukan selanjutnya adalah mendistribusikan pekerjaan yang harus dilakukan dalam rangka mencapai cita-cita luhur, masyarakat yang baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Distribusi pekerjaan ini hanya bisa terlaksana manakala masyarakat memiliki kerendahan hati yang memadai untuk dapat bekerjasama dan saling memahami satu sama lain. Wallahu a’lam.   

 

Oleh: Muhtadawan Bahri/Biah


Ingin berlangganan Majalah Islami yang bermutu dan bermuatan artikel menarik? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085