Ibunda Para Ulama

Orang-orang hebat tak pernah jauh dari rahim yang taat. Maka sungguh benar makna syair di atas. Bahwa seorang ibu yang taat, shalihah, akan mencetak sebuah bangsa, yang nantinya akan membentuk sebuah peradaban luhur. Dan itu bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, yang dapat dilakukan sesaat saja. Ta’dib, pendidikan, adalah perpaduan dari kesabaran panjang, perjuangan berat, kesungguhan tak kenal lelah, dan doa yang tak pernah putus menggetarkan langit.

Mari berkenalan dengan mereka, para ibunda shalihat, yang dari rahim mereka, lahirlah para ulama Islam. Sejarah menuangkan tinta emasnya mengabadikan keharuman nama mereka, yang telah berhasil mencetak sebuah bangsa, membentuk peradaban dengan ilmu dan pekerti yang luhur.

Ibunda Imam Malik

Beliau lah yang memakaikan baju bagus kepada putranya, Malik, memakaikan ‘imamah (penutup kepala yang lazim di Arab), lalu memotivasi putranya, “Pergilahke Rabi’ah (Rabi’ah Ar-Ra’yi, guru Imam Malik), bergurulah kepadanya, ambillah adabnya sebelum ilmunya!”

Adab sebelum ilmu. Masya Allah! Betapa beliau faham, bahwa ilmu tidak berarti apa-apa tanpa adab yang baik.

Dan adab ini betul-betul ter-shibghah dalam diri Imam Malik. Kelak, beliau sangat menghormati ilmu, memuliakan haditshadits Rasulullah ﷺ, dengan memakai pakaian bagus dan memakai wewangian setiap kali hendak mengajar.

Imam Malik juga pernah menegur murid-muridnya saat ada yang meninggikan suara di majlis beliau. Beliau menganggap bahwa itu sama seperti meninggikan suara di hadapan Rasul. Padahal Allah melarang para shahabat untuk meninggikan suara di hadapan Rasul.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿٢﴾

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.”  (QS. Al-Hujurat: 2)

Kelak, Imam Malik akan menjadi Imam Dar Al-Hijrah (Imamnya kota Madinah). Penulis kitab hadits Al-Muwaththo’, kitab yang menjadi dasar utama dan inti dari kitab-kitab hadits berikutnya.

Ibunda Imam Sufyan Ats-Tsauri

“Anakku, tuntutlah ilmu. Dan ibu akan mencukupimu dengan hasil memintal.” Itulah ucapan Ibunda Sufyan Ats-Tsauri saat putranya ragu.

Ingin menuntut ilmu, namun keyatiman dan kemiskinan menjadi kendala. Wasiat beliau kepada putranya, “Anakku, jika kamu menulis 10 huruf, lihatlah apakah hatimu bertambah khusyu’, lembut dan elok? Jika kamu tidak mendapatkannya, ketahuilah bahwa ilmu itu akan membahayakanmu, dan tidak membawa manfaat bagimu.”

Ilmu yang bermanfaat, itulah yang ditekankan oleh beliau. Ilmu yang menjadikan seseorang semakin dekat dengan Rabb-nya, hati bertambah takut, dan iman serta taqwa yang meningkat. Beliau juga yakin, bahwa Allah akan mencukupi hamba-Nya yang bersungguhsungguh karena-Nya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّـهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٦٩﴾

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)

Kelak, putranya akan menjadi Amirul Mukminin fil Hadits (pemimpin kaum mukmin dalam hadits).

Ibunda Imam Asy-Syafi’i

Asy-Syafi’i kecil lahir di Gaza, Palestina. Yatim, miskin. Usia 2 tahun, sang ibunda membawanya ke Makkah, kampung halaman keluarga ayah.

Keyatiman, kemiskinan bukanlah suatu penghalang dari seseorang menjadi mulia dengan ilmu. Beliau yakin akan hal ini. Dalam asuhan sang ibunda, Asy-Syafi’i hafal Qur’an usia 7 tahun. Hafal kitab AlMuwaththo’ karya Imam Malik (gurunya) usia 13 tahun.

Kelak, Asy-Syafi’i menjadi salah satu Imam Madzhab yang diikuti. Beliau diberi gelar Nashir Al-Haq Wa As-Sunnah (penolong kebenaran dan sunnah Nabi). Penulis 140 kitab.

Madzhabnya menjadi rujukan muslimin hingga kini. Bahkan, madzhab beliau dipakai oleh sebagian besar dari kita, muslimin Indonesia.

Ibunda Imam Al-Bukhari

Al-Bukhari lahir di Bukhara, Samarkand. Anak kecil yatim yang pernah buta. Sang ibunda tak pernah putus mendoakannya di sepertiga malam. Hingga suatu malam, sang ibunda berjumpa dengan Nabi Ibrahim as dalam tidurnya, “Wahai ibu, sungguh Allah telah mengembalikan kedua mata putramu karena kamu sering berdoa kepada-Nya.” Keesokan harinya, penglihatan Al-Bukhari benar-benar telah kembali.

Bahagia dengan kembalinya penglihatan putranya, sang ibunda mewakafkan hidup putranya untuk ilmu. Usia 16 tahun, sang ibunda mengajaknya umrah ke Makkah bersama saudaranya. Seusai umrah, Al-Bukhari menetap di Makkah untuk menuntut ilmu. Sementara ibundanya kembali pulang bersama saudaranya.

Kelak, Al-Bukhari menjadi Syaikh AlMuhadditsin (gurunya para ahli hadits). Kitab beliau, Shahih Al-Bukhari, menjadi kitab rujukan paling shahih setelah Al-Quran.

Sungguh, doa seorang ibu untuk kebaikan dan keshalihan putra-putrinya adalah kendaraan terbaik bagi mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Jimat keramat yang menjaga mereka sepanjang hidup.

Karena seyakin apapun kita terhadap upaya kita, kita tetap tidak sanggup menggenggam hidup kita sendiri. Lebih-lebih kehidupan anak-anak kita, cucu kita dan keturunan kita selanjutnya. Maka kepada Allah lah kita sungkurkan kening, mengakui kehinaan diri dan memohon penjagaan-Nya dengan penuh harap. Allah sebaik-baik penjaga, sebaik-baik pelindung hamba-Nya. Allahu a’lam

Oleh: Redaksi/Keluarga

Pendidikan Anak, Tanggung Jawab Siapa

Entah siapa yang memulai, namun pembagian tugas: suami mencari nafkah dan istri mengurus rumah tangga, menjadi sebuah teori atas nama agama dan adat yang tak terbantahkan. Sungguh, ini tidak ada hubungannya dengan kesetaraan gender atau banyaknya muslimah yang bekerja di luar rumah dengan beragam alasan. Tapi nyatanya, ada juga para suami yang menyerahkan sepenuhnya urusan rumah kepada istri. Ya, sepenuhnya tanpa syarat. Mulai dari hal-hal remeh seperti sekadar menyapu nasi sisa yang tercecer (bekas makan anak-anaknya sendiri), sampai urusan strategis yang sering dianggap sepele, yaitu pendidikan anak.

Ironis. Ketika dalam sebuah keluarga muslim pasangan suami istri saling melempar tanggung jawab urusan ini. Suami sibuk di luar rumah demikian pula dengan sang istri. Akhirnya, anak diserahkan kepada pembantu atau seharian penuh berada di sekolah-sekolah terpadu tanpa kontrol orang tua. Orang Jawa bilang, “Pasrah bongkokan.” Ayah-ibu tiba di rumah dalam keadaan sangat payah, sehingga hampir tak ada selera untuk bercanda dengan anak-anaknya. Lebih ironis lagi, bila sibuknya sang ayah atau ibu tersebut, disebabkan urusan dakwah untuk memperbaiki akhlak orang lain, namun lupa kepada keluarganya. Lupa bahwa anak-anaknya jauh lebih berhak diperhatikan daripada orang lain.

“Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim : 6)

“Dan perintahkanlah keluargamu menjalankan sholat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rejeki kepadamu, Kami lah yang memberi rejeki kepadamu. Dan akibat [yang baik di akherat] adalah bagi orang yang takwa.” (QS. Thaha : 13)

Mari kita renungi. Kita kembalikan semua pada fitrahnya.

Kita semua telah hafal di luar kepala, bahwa ibu adalah madrosatul ula, sekolah yang pertama bagi anak-anaknya. Tak heran, bila anak sering dianggap imitasi dari para orang tua, terlebih ibu. Lihatlah bagaimana cara mereka marah, bagaimana cara mereka berbicara, berpakaian atau bertingkah laku. Mungkin, para ibu akan tertawa sendiri bila menyadarinya. Maka sangat disayangkan bila anak-anak kita mendapat metode pendidikan yang salah dari sang ibu. Lebih menyedihkan lagi, bila pendidikan pertama ini justru didapat dari orang lain, mengingat betapa sibuknya ibu dengan pekerjaannya, dengan hobinya, dengan teman-temannya, dengan pengajiannya, dan sebagainya.

Padahal di antara tugas seorang ibu yang sholihah adalah untuk mendidik anak-anaknya, untuk menjaga kesucian dan kebersihan, menjaga kehormatan dan keberanian, serta meninggalkan gemerlap perhiasan dan kesenangan dunia. Semua itu agar mereka tumbuh sebagai anak-anak yang hanya hidup dengan islam dan untuk islam.

Lalu dimana ayah?

Dalam Islam ayah memiliki kedudukan yang agung dan mulia. Karena ayah adalah pemimpin dalam keluarga. Ia bertanggung jawab atas keistiqamahan seluruh anggota keluarga. Ialah istri dan anak-anaknya.

“Dan ketahuilah bahwa kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya”. (HR. Muslim)

Akan tetapi kesibukanlah yang sering dijadikan alasan oleh para ayah sehingga kesulitan mencari waktu luang untuk berkumpul dengan anggota keluarga. Hampir tak ada waktu untuk sekadar mendengarkan keluhan, mengarahkan, mendengarkan pendapat atau mengajak bicara. Istri pun sering tidak mendapat kesempatan untuk berdiskusi atau membicarakan program-program dalam keluarga. Bisa juga kebersamaan yang ada itu hanya sebatas formalitas saja. Ayah bersama laptopnya, ibu sibuk dengan teman-temannya di negeri dumay (dunia maya), anak-anak menonton televisi, semua asyik dengan dunianya sendiri-sendiri. Berkumpul dalam satu atap, namun semua membisu. Bisu dan tenggelam dalam alamnya masing-masing.

Padahal peran ayah dalam mendidik anak tak kalah pentingnya. Dia memiliki andil untuk membantu istri dengan cara menjelaskan dan mendiskusikan  metode pendidikan bagi anak-anaknya serta langkah-langkah operasional untuk mewujudkan semua itu. Karena anak-anak biasanya lebih sering berinteraksi dengan ibu. Namun tanpa bantuan suami, sulit rasanya bagi seorang istri memahami hakekat pendidikan yang benar dan mengokohkan keinginan mencetak generasi-generasi terbaik dari anak-anaknya.

Mari kita perhatikan, bagaimana lelaki terbaik umat ini berinteraksi dengan anak-anak. Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abdullah ibn Buraidah, dari ayahnya, “Aku mellihat Rasulullah ﷺ sedang berkhutbah, kemudian datang Al-Hasan dan Al-Husain yang mengenakan gamis berwarna merah berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Maka beliau turun dari mimbar lalu menggendong keduanya dan mendudukkan di hadapannya. Beliau pun bersabda, ‘Maha benar Allah dalam firmanNya, ‘Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah ujian.’ Aku melihat kedua anak ini tertatih-tatih, maka aku tidak sabar, sehingga aku memotong pembicaraanku dan aku mengangkat keduanya.” Hmm…Sebuah pemandangan unik yang mungkin tak akan ditemui dari para ayah zaman sekarang.

Maka bisa dipastikan bahwa urusan pendidikan anak, bukan melulu tanggung jawab suami atau hanya menjadi tugas istri. Keduanya disyari’atkan untuk bahu membahu dalam menjalankannya. Akan tetapi para istri semestinya bersabar atas kelalaian suami yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan. Bahkan tak menjadi penghalang bagi langkah suami dalam berbagai urusan. Sebaliknya para suami juga tidak boleh tenggelam dalam dunianya, hingga menelantarkan keluarganya. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik diantara kalian kepada keluargaku”. (HR. Tirmidzi)

Selanjutnya yang perlu kita pahami bersama bahwa, pendidikan anak bukan merupakan pekerjaan main-main. Inilah pekerjaan lintas generasi yang berawal dari rumah. Dari kita, orang tuanya. Sebuah pekerjaan yang membutuhkan kesabaran. Sebuah pekerjaan yang buah manisnya tidak bisa kita nikmati seketika, namun berbuntut panjang bahkan hingga ke negeri akhirat.

Oleh: Redaksi/Majalah ar-risalah

 

Muslimah Itu Berperan Bukan Baperan

Islam sebagai pandangan hidup, telah menyediakan solusi untuk berbagai permasalahan yang ada pada manusia untuk seluruh zaman dan pada semua tempat. Dengan kata lain, jika islam diterapkan secara sempurna, maka pastinya kaum muslimin meningkat taraf berpikirnya dan akan mampu memecahkan segala permasalahan hidupnya.

Islam diturunkan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya serta dirinya sendiri. Sebagai makhluk ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’aala, dalam beberapa hal pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama. Misalnya, mereka sama-sama wajib memenuhi ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala, sama-sama wajib untuk mencintai Allah dan Rasul- Nya lebih daripada yang lain, serta sama- sama wajib melakukan amar ma’ruf na mungkar.

Mereka sama-sama berhak mendapatkan surga, sama-sama berhak untuk didengarkan pendapatnya dan yang lainnya. Selain memberikan hak dan kewajiban yang sama, Allah juga memberikan keistimewaan kepada masing-masing pria dan wanita dalam rangka mengabdi kepada-Nya dalam kehidupa dunia.

Allah menciptakan keistimewaan bukanlah untuk menjadi alasan yang untuk saling meremehkan satu sama lain, tetapi saling melengkapi dan menyadari bahwa mereka tak bisa hidup secara normal tanpa kehadiran yang lainnya.

Di antara peran muslimah dalam menyongsong kebangkitan islam adalah menjadi panutan bagi masyarakat dan teladan bagi umat. Dalam hidupnya, seorang wanita juga wajib berdakwah menyerukan islam di komunitas dimana ia berada, dakwah dalam artian ini adalah mengajak orang agar cenderung kepada islam. Tetapi yang perlu digaris bawahi disini ialah pengkhususan dakwah wanita.

Seorang wanita mempunyai keistimewaan penyampaian ‘hati ke hati’, seorang wanita harus menjalankan peran pengemban dakwahnya lebih kepada masalah-masalah yang disitu melibatkan kaumnya. Ia mestilah lebih paham dalam hal-hal kewanitaan, walaupun tidak mengabaikan hal-hal yang lain. Selain itu seorang wanita mestilah menjadi contoh di lingkungan tempat ia berada, tidak eksklusif, berusaha memahami masyarakat tempat ia tinggal berbaur dan melebur dengannya, tanpa mengorbankan hal prinsipal yang ia anut.

Peran perempuan yang tidak kalah penting adalah menjadi sahabat bagi suaminya. Banyak sekali hadits yang mengabarkan tentang pentingnya peran wanita dalam rumah tangga, khususnya perannya sebagai seorang istri. Hal ini berarti bahwa wanita yang telah dan akan menjadi istri sangatlah besar pengaruhnya pada aktivitas sang suami.

“Wanita adalah tiang negara” tampaknya bukanlah sesuatu yang berlebihan, bahkan bisa dikatakan
“wanita adalah tiang peradaban”. Banyak sekali hadits yang mengabarkan keistimewaan wanita. Hal itu bisa dilihat pada fungsi seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya.

Anak adalah cerminan orangtua, seorang anak yang besar biasanya lahir dari keluarga yang baik. Ibu memegang peranan yang sangat penting dalam pengajaran ini. Oleh Allah Subhanahu Wa Ta’aala seorang ibu telah ditempatkan pada kemuliaan yang sangat tinggi menyangkut masalah pendidikan anak. Itulah mengapa tolak ukur seorang anak ditentukan dari ibunya. Pendidikan yang baik sejak dini akan melahirkan generasi yang taat pada Allah.

Namun, tidak berarti peran utama perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummum wa rabbah al-bayt) menjadikan dirinya tidak punya kiprah di tengah masyarakat. Tugas ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’aala surah at-Taubah ayat 71. Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’aala menggariskan bahwa perempuan memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam melakukan amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat. Mereka tolong-menolong (ta’awun) dalam menegakkan aktivitas yang menjadi pilar kehidupan bermasyarakat tersebut, termasuk keluarga di dalamnya. Allah Subhanahu Wa Ta’aala pun telah memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk berdakwah, dan mengurus ummat.

Mendidik diri menjadi muslimah sejati adalah sebuah kewajiban. Menempa diri untuk lebih baik juga
harus dilakukan. Sehingga kompetensi yang dimiliki cukup memadai ketika terjun di medan dakwah.
Belajar tegar selayaknya muslimah pejuang, sahabiyah di zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam. Nama mereka hingga kini tetap terngiang karena ada jejak kebaikan yang
ditinggalkan. Hari-hari mereka tidak sepi dari aktivitas, bergegas untuk menyambut seruan Allah Subhanahu Wa Ta’aala, melewatkan waktu untuk berjuang di jalan Allah melalui apa saja.

Sebagai seorang muslimah yang mampu berperan, maka seorang perempuan harus mampu mengesampingkan masalah pribadi dengan keumatan, berdaya guna, serta masalah yang hadir tidak membuat dirinya mangkir dari amanah dan menyelisih ukhuwah. Sebab setiap yang dirasakan tak lain sebagai wujud cinta Allah padanya.

Berbeda dengan muslimah yang baperan. Mudah menyerah ketika datang masalah, hatinya penuh amarah ketika ada yang tidak seperti yang diharapkan, ukurannya bukan Allah tapi pada hawa nafsunya. Padahal lika-liku dakwah akan berjumpa dengan ujian dan kesulitan. Jika demikian, tentu ia harus bisa mendewasakan diri. Berupaya sekuat tenaga untuk menangguhkan pribadinya agar tidak mudah terjatuh bila ada yang memberati langkahnya.

Muslimah berperan bukan baperan harus menyadari bahwa dirinya adalah pengemban dakwah, teladan bagi masyarakat. Karena itu, ia harus mampu menjadi ibu teladan, istri teladan, anak teladan yang berbakti kepada orangtua, tetangga yang baik, serta kerabat yang rajin bersilaturahmi.

Oleh: Redaksi/Wanita

Bagaimana Wanita Salaf Mengisi Hari-harinya

Qiyamullail, adalah sunnah paling utama yang akan mengokohkan seorang muslimah di atas jalan hidayah, menerangi jalannya, serta menambah imannya. Shalat yang tiada seorang pun tahu kecuali Allah. Utama, karena dikerjakan di waktu kebanyakan orang lalai. Berat, karena sesuatu yang utama akan menuntut kesabaran dalam menjalaninya. Ia merupakan pesan sang Nabi mulia saat pertama kali langkahnya menapak kota Madinah,

أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَام، وَأَطْعِمُوا الطَّعَام، وَصِلُوا الأَرْحَام، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَام، تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلَام

“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikan makan mereka yang kelaparan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah di saat manusia terlelap di gelapnya malam, niscaya kalian akan masuk syurga dengan aman.” (HR. Ibnu Majah)

Inilah waktu terbaik, saat di mana Allah turun ke langit dunia, di sepertiga malam terakhir, siapakah yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, hingga Aku beri apa yang dia minta, siapa yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni. Begitu termaktub dalam hadits qudsi, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Ada banyak sekali contoh wanita salaf yang senantiasa menghidupkan malam-malamnya, dengan shalat, dzikir, taubat, istighfar, tilawah, dan amalan shalih lainnya. Mengisi hari-harinya dengan ketaqwaan dan kecintaan kepada Rabb-nya. Betapa luar biasa kegigihan mereka dalam ibadah. Hati mereka lembut dengan linangan air mata khashyah kepada-Nya. Lelah tak dirasa, bosan apatah lagi, hingga akhir hayat mereka. Mari kita tengok sebagian kisah mereka, mereguk keindahan bebungaan yang mekar dan mewangi, di taman penghambaan kepada Yang Maha Kuasa.

Nisa’ul lail

“Wanita malam”, mungkin terdengar di telinga sebuah makna negatif. Namun hakikatnya adalah kebalikan dari itu. Karena siapapun yang menghidupkan malamnya, ia layak disebut dengan ahlul lail. Adalah istri Habib Abu Muhammad al-Farisi, –semoga Allah merahmati keduanya-, ia yang senantiasa membangunkan suaminya di malam hari, “Bangunlah wahai kekasih hatiku, ketahuilah, bahwa sesungguhnya jalan ini begitu panjang, namun perbekalan kita sangatlah sedikit. Kafilah orang-orang yang shalih telah mendahului kita, sedang kita masih tertinggal di sini.

Beginilah sejatinya seorang istri shalihah, cintanya kepada sang suami begitu tulus. Ia ingin agar sang kekasih adalah kekasihnya juga kelak di syurga-Nya. Bukankah Rasul saw juga menganjurkan hal itu, dalam sabdanya:

رَحِمَ اللهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فصَلَّى فَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا المَاء، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ المَاء

“Semoga Allah merahmati seorang laki-laki, bangun di tengah malam kemudian shalat, kemudian ia bangunkan istrinya, dan jika ia enggan untuk bangun, ia cipratkan sedikit air ke mukanya. Dan semoga Allah merahmati wanita yang bangun malam kemudian shalat, kemudian ia bangunkan suaminya, dan jika ia enggan bangun, ia cipratkan sedikit air ke mukanya.” (HR. Abu Daud)

Inilah jalan para wanita malam dan laki-laki malam, yang menjadikan malam-malamnya indah dengan munajat, terang dengan doa dan taubat.

Hunaidah

Dikisahkan oleh Amir bin Aslam dari ayahnya, bahwa di kampungnya ada seorang wanita shalihah bernama Hunaidah. Ia selalu bangun di sepertiga malam atau di pertengahan malam. Ia juga membangunkan suami, anak dan budaknya. “Ayo bangunlah kalian, ambil air wudhu, dan shalatlah!” ia terus melakukan hal ini selama hidupnya hingga wafatnya. Sepeninggalnya, sang suami melihatnya dalam mimpinya, ia berkata: “Jika engkau ingin menikahiku lagi kelak di syurga-Nya, maka jadikan kebiasaanku saat hidup kebiasaanmu juga.”

Sang suami betul-betul melakukan apa yang menjadi kebiasaan istrinya dahulu hingga wafatnya. Setelah wafatnya, ia mendatangi putra pertamanya dalam mimpinya seraya berkata, “Wahai putraku, jika engkau ingin berkumpul kembali dengan kami di syurga-Nya, maka jadikan kebiasaan kami dahulu sebagai kebiasaanmu bersama keluargamu juga.”

Sang anak juga bersungguh-sungguh menjadikan kebiasaan kedua orangtuanya sebagai kebiasaanya bersama keluarganya hingga wafatnya. Mereka dikenal di masyarakat sebagai keluarga “Qawwamun”, yang senantiasa shalat malam.

Air mata sayyidah Aisyah ra

Dikisahkan oleh Al-Qasim bin Muhammad, ia bertutur: “Setiap pagi, aku memulai kegiatanku dengan mengunjungi bibiku, Aisyah, menyapanya dengan salam. Pernah suatu pagi, aku mendapatinya sedang shalat, bertasbih dan membaca ayat

فَمَنَّ اللهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُوْم

“Para penghuni syurga berkata: “Sungguh, kami dahulu berada di tengah keluarga kami yang selalu takut akan adzab Allah.” (QS. Ath-Thur: 27)

Ia terus mengulanginya sembari menangis. Aku menantinya hingga aku bosan berdiri, akhirnya aku pergi ke pasar untuk membeli keperluanku. Kemudian saat aku kembali, aku mendapatinya masih dalam keadaan sebagaimana aku tinggalkan tadi.”

Semoga Allah merahmatimu wahai Shiddiqah binti Shiddiq, sungguh, air mata berharga yang akan menjadi pemberat timbangan di sisi Allah kelak, karena ianya keluar dari hati yang mengetahui Allah dan takut kepada-Nya. Dan inilah dzikir, khalwat, dan tafakkur yang menjadi ciri khas para shahabiyah di sekitar Rasul.

Zajlah, ratu tanpa mahkota

Ada banyak yang menyaksikan kesungguhannya dalam ibadah. Hingga salah satu dari mereka menyarankannya agar tidak terlalu memaksakan dirinya. Namun, tengoklah jawabannya, “Tidak perlu mengasihani diri dalam hal ibadah. Karena sesungguhnya dunia ini adalah tempat mengumpulkan bekal. Tempat berlomba-lomba dalam kebaikan. Maka barangsiapa yang berlalu satu hari darinya dalam kesia-siaan, dia tidak akan pernah bisa mengulanginya kembali. Demi Allah, aku akan shalat untuk-Nya semaksimal kekuatan tubuhku. Aku akan puasa sepanjang hidupku untuk-Nya, dan aku akan terus menangis karena-Nya hingga kering air mata.”

Sungguh, tekadnya begitu kuat, hingga Allah menganugerahkan kepadanya hati seorang ratu, meski tanpa mahkota, jiwa yang kaya raya meski tanpa gelimang harta. Maka, barangsiapa beribadah kepada Allah dengan rasa ini, sungguh Allah akan membimbing dengan taufik-Nya, hingga mampu memaksimalkan waktu yang ada dalam ketaatan kepada-Nya. Karena kewajiban seorang hamba lebih banyak daripada waktu yang ia punya, maka siapa yang menyia-nyiakannya, sungguh ia telah durhaka terhadap hari-harinya, juga mendzalimi dirinya.

Nafisah binti Hasan

Beliau adalah cucu keluarga mulia Ali bin Abi Thalib. Nafisah binti Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Tahun 208 Hijriyah adalah hari-hari terakhirnya di dunia. Di hari wafatnya ia tengah berpuasa. Semua orang menyarankan ia agar berbuka, namun ia menjawab: “Kalian sungguh mengherankan, tiga puluh tahun sudah aku berdoa kepada-Nya agar aku bisa menemui-Nya dalam keadaan berpuasa. Lalu, apakah sekarang aku akan berbuka? Tidak, sekali-kali tidak.” Kemudian ia membaca surah Al-An’am hingga sampai kepada ayat

لَهُمْ دَارُ السَّلَامِ عِندَ رَبِّهِمْ ۖ وَهُوَ وَلِيُّهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Orang-orang mukmin akan mendapatkan negeri akhirat yang aman di sisi Tuhan mereka. Allah adalah Tuhan yang menjadi pelindung orang-orang mukmin, karena mereka telah beramal shalih.” (QS. Al-An’am: 127)

Tak lama, ia kemudian membaca kalimat syahadat, dan pergi menghadap Rabb-nya. Ah, betapa indah kematiannya, kematian yang membuat iri mereka yang masih hidup, yang menginginkan agar amal terbaiknya adalah ketika ruh menghadap Rabb-nya.

Sebelum kita akhiri, mari kita simak kalimat indah yang diucapkan oleh seorang wanita tua dari Bani Abdul Qais, “Beribadahlah engkau kepada Allah sebanyak nikmat yang Ia berikan untukmu, sejumlah kebaikan yang Ia anugerahkan kepadamu. Jika engkau tidak sanggup, maka beribadahlah sebanyak Ia tutupi kesalahan dan dosa-dosamu. Jika engkau tidak mampu, maka beribadahlah karena rasa malumu kepada-Nya. Dan jika engkau tidak sanggup, beribadahlah karena berharap pahala-Nya. Jika engkau tidak mampu juga, maka beribadahlah karena takut akan siksa-Nya. Karena seorang yang mencintai, takkan bosan bermunajat dengan yang ia cintai.”

Semoga Allah merahmati mereka semua. Serta menguatkan kita agar mampu menapaki jejak langkah mereka dalam kebaikan dan taqwa, menuju keridhaan Rabb yang Maha Mulia.

Oleh: Redaksi/Wanita

Sayang Anak, Antara Tabiat dan Ujian

Anak adalah anugerah sekaligus amanah yang Allah hibahkan kepada orangtua. Keberadaan anak sangat dinanti-nantikan oleh orangtua sebagai penyempurna kebahagiaan dalam keluarga. Sudah lumrah ketika orangtua itu mencintai dan menyanyangi anaknya. Buah hati termasuk di antara deretan perhiasan dunia sebagaimana firman Allah Ta’ala,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّـهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ ﴿١٤

“Dijadikan indah pada pandangan (manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali-Imran: 14)

Sebagai perhiasan dunia, keberadaan anak juga sekaligus menjadi ujian bagi orangtuanya. Kecintaan orangtua kepada anaknya pun akan dinilai kadar, sebab maupun bagaimana cara orangtua menyanyangi anaknya.

Dengan cinta yang benar, maka anak bisa menjadi penyejuk pandangan mata orangtua, sebagaimana cita-cita seorang muslim yang tersirat dalam doa,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا ﴿٧٤

“Wahai Tuhan kami, anugerahkan kepada kami pasangan kami dan anak keturunan kami sebagai penenang hati.” (QS. al-Furqon: 74)

Imam Hasan al-bashri ketika ditanya makna penyejuk pandangan mata dalam ayat ini beliau berkata, “Yakni ketika Allah memperlihatkan kepada hamba-Nya yang muslim di mana istri, saudara dan anaknya dalam keadaan taat kepada Allah.

Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim melebihi ketika ia melihat anaknya, cucunya, saudaranya atau istrinya mentaati Allah Azza wa Jalla.”

Anak bisa menjadi ‘mesin produksi’ pahala bagi orangtuanya. Yakni ketika orangtua mendidik anaknya dengan keshalihan, maka orangtua yang mendidiknya mendapatkan pahala setiap amal shalih yang dikerjakan anaknya. Sebagimana ia juga mendapat keberuntungan doa yang dipanjatkan anak yang shalih untuk orangtuanya.

Bahkan karenanya, orangtua diangkat derajatnya di jannah kelak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

إنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي اْلجَنَّةِ, فَيَقُوْلُ: أنَّي لِي هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, maka ia berkata,”Dari manakah balasan ini?” Dikatakan,” Dari sebab istighfar anakmu kepadamu”. (HR. Ibnu majah dan Ahmad)

Begitu pula orangtua akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan anaknya, di tempat paling tinggi levelnya di antara mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ ﴿٢١

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS Ath Thur:21).

Mereka akan disatukan di level yang sama, sedangkan Allah berjanji tak akan mengurangi sedikitpun keutamaan mereka, maka mereka ditempatkan di level tertinggi yang diraih dalam anggota keluarga, sebagaiman pendapat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.

Begitulah ketika orang tua mencintai anaknya dengan tulus dan benar, ia menjadi anugerah dan pahala bagi orangtua. Akan tetapi, ia juga bisa menjadi sumber petaka dan musuh bagi orang tua. Cara mencintai yang salah, bisa memposisikan anak sebagai musuh yang akan mencelakakan orangtuanya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (QS. ath-Thagabun 14).

Menjadi musuh yang dimaksud bukan berarti bermusuhan atau saling berhadadapan untuk saling mencelakakan secara fisik. Bisa jadi keduanya sejalan dalam kebiasaan dan kesenangan. Tetapi
maksudnya ketika anak membujuk, mengajak atau meminta kepada orangtuanya untuk memberikan fasilitas kemaksiatan, maka dalam kondisi seperti ini, anak adalah layaknya musuh yang mencelakakan orangtuanya. Bukankah banyak di antara orangtua gemar memperturutkan setiap keinginan anak dengan alasan sayang, padahal apa yang diminta itu sesuatu yang merusak agamanya.

Allah Ta’ala juga mengingatkan agar anak-anak tidak melalaikan kita dari mengingat-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّـهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ ﴿٩

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.” (QS. al-Munafiqun: 9)

Walhasil, anak adalah aset bagi orangtua. Lantas orangtua memiliki obsesi yang berbeda bagi anak-anaknya. Ada yang menginginkan anaknya kelak menjadi orang kaya, ini yang menjadi prioritasnya.
Padahal, belum tentu ketika kelak anaknya menjadi orang kaya orangtua masih hidup. Atau taruhlah ketika orangtua masih hidup saat anaknya menjadi orang kaya, tanpa didikan takwa maka anak takkan berbakti kepadanya.

Begitupun dengan orang yang berambisi anaknya menjadi pejabat. Belum tentu orangtua masih hidup saat anaknya menjadi pejabat. Atau kalaupun masih hidup, belum tentu anaknya berbakti dan memuliakan orangtua.

Maka rasa cinta kepada anak seharusnya mengarahkan buah hati tersebut kepada keshalihan, sebagaimana doa Nabi Ibrahim, “Rabbi habli minash shaalihin, Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku seorang putera yang shalih.”

Keshalihan anak secara otomatis mengundang pertolongan Allah kepadanya. Sebagaimana janji Allah Ta’ala, “wahuwa yatawallash shaalihin, dan Dia Allah menolong orang-orang yang shalih.” (QS. al-A‘raf: 196)

Wallahu a’lam.

 

Oleh: Redaksi/Keluarga

Kala Wanita Bosan Dengan Fithrahnya

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Suatu ketika ada seseorang yang menggiring sapi (sejenis kerbau) yang  di atas punggungnya membawa beban -dalam riwayat lain, “tiba-tiba laki-laki tersebut menaikinya dan memukulnya- Maka berkatalah sapi tersebut,”Sesungguhnya kami diciptakan bukan untuk keperluan ini, aku diciptakan untuk membajak sawah.” Maka orang-orang berkata,”Subhanallah, seekor sapi dapat berbicara.” Kemudian beliau bersabda,”sesungguhnya aku diberi amanah untuk ini, begitu juga Abu Bakar dan Umar…(HR Bukhari dan Muslim)

Demikianlah, Allah Ta’ala menghiasi makhluknya dengan kekuatan dan keistimewaan yang berbeda-beda, dan Allah memberikan piranti kepada makhluk sesuai dengan tujuan ia diciptakan. Kerbau tidak diciptakan untuk mengangkat beban dan dijadikan tunggangan, akan tetapi diciptakan untuk membajak sawah, maka mempergunakan kerbau sebagai kendaraan atau untuk mengangkat beban berarti menyalahi maksud diciptakannya kerbau dan tidak sesuai dengan keistimewaan yang telah diberikan Allah kepada kerbau.

Begitupun halnya dengan manusia. Allah menjadikan laki-laki dan perempuan serta memberikan kelebihan dan keistimewaan yang berbeda sesuai dengan tugas dan peranannya. Kita dapatkan perbedaan yang menyolok antara keduanya baik dalam sifat, susunan tubuh, gerak-geriknya, cara berjalan, duduk, berdiri, cara berbicara, kesenangan, kebiasaan dan juga perasaannya. Perbedaan tersebut sesuai dengan kekhususan fungsi dan peranannya sebagaimana yang dikehendaki Allah.

Menuntut persaman gender adalah sebuah tuntutan untuk memaksakan kesamaan dua hal yang seungguhnya berbeda. Menyeru persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk “diskriminatif” terhadap fithrah yang telah Allah gariskan terhadap manusia. Kalau saja tugas dan peranan laki-laki sama dengan perempuan, lantas di manakah letak kebijakan Allah menciptakan manusia menjadi dua jenis? mengapa tidak cukup menciptakan dengan satu jenis kelamin saja jika memang sama tugas dan hak-haknya?  Allah berfirman:

“Tidaklah laki-laki itu seperti wanita..”

 

KEMBALI KEPADA FITHRAH ADALAH JALAN SELAMAT

Segala sesuatu akan menjadi baik jika berada di atas fitrahnya. Ikan akan tetap hidup jika ia tinggal di air, Burung akan terjaga kelestariannya jika mereka terbang di udara dan tinggal di pucuk-pucuk pohon dan cacing akan selamat jika ia tetap tinggal di dalam tanah. Bencana akan menimpa mereka ketika masing-masing telah jenuh dengan apa yang menjadi fitrahnya.

Demikian halnya dengan mnausia, dia akan tetap baik ketika nrimo dengan apa yang menjadi fitrahnya. Jika wanita sudah menjadi laki-laki, dan laki-laki memerankan wanita, maka kerusakanpun akan terjadi. Oleh karena itu Rasulullah melaknat wanita yang menyerupai (meniru) laki-laki dan laki-laki yang menyerupai (meniru) wanita.

Baca JugaMuslimah dalam Perjalanan Hijrah

Wanita ibarat pedang bermata dua, apabila dia baik, menunaikan tugas dan peranannya yang hakiki, serta berjalan diatas fitrah yang telah digariskan oleh Allah, maka ia ibarat batu bata yang baik bagi sebuah bangunan masyarakat ISlam yang komitmen dengan ketinggian akhlak dan cita-cita yang luhur. Akan tetapi, ketika mereka menyimpang dari tugas pokoknya dan menyerobot tugas yang bukan menjadi tanggung jawabnya serta latah mengikuti para budak hawa nafsu, maka dia menjadi musuh besar bagi manusia yang hendak meraih kejayan di dunia dan akherat.

Karenanya, Rasulullah menyuruh kita waspada terhadap bahaya besar yang ditimbulkan oleh wanita semacam ini. Beliau bersabda :

“Sesungguhnya dunia itu manis dan menggiurkan. Dan sesungguhnya Allah menyerahkan dunia kepada kalian. Kemudian hendak melihat apa yang kalian perbuat terhadapnya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita.”  Dalam riwayat lain ada tambahan “sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita.” (HR Muslim)

Beliau juga bersabda :

“Aku tidak meninggalkan fitnah sepeningalku yang lebih berat bagi laki-laki dari fitnah wanita.” (HR Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Sa’id bin Musayyib berkata, “ketika setan merasa kewalahan menggoda manusia, maka ia bersembunyi di balik wanita (memperalatnya).” Benar, seringkali wanita mampu berbuat dengan sesuatu yang tidak dapat diperbuat oleh setan. Ia mampu menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan oleh syetan. kapankah itu? yakni ketika ia bosan dengan apa yang telah digariskan oleh atasnya. Wanita semacam ini akan menjadi senjata pamungkas bagi syetan untuk menghadapi manusia.

Kenyataan itulah yang telah diketahui oeh syetan-syetan jin dan manusia. Maka mereka berupaya untuk menyimpangkan wanita dari tugasnya yang utama, agar ia mau berperang di pihaknya dan membela misinya.

 

DI MANAKAH FITRAH WANITA?

Setelah kita menyadari pentingnya kembali kepada fitrah, lantas bagaimana sesungguhnya fitrah wanita itu? Apakah fitrah itu sesuatu yang biasa dikerjakan manusia? ataukah suatu budaya yang telah berlangsung secara turun temurun?

Bukan, fitrah adalah ketetapan yang Allah gariskan bagi para makhluknya. Allah yang menciptakan hambaNya sehingga Allah yang paling mengetahui apa-apa yang baik bagi hamba-Nya dan apa yang buruk bagi hamba-Nya. Lalu Allah memberikan tugas kepada masing-masing makhluk serta memberikan perangkat dan alat sesuai dengan tugasnya di dunia. Ketika satu diantara mereka menyerobot tugas yng bukan menjadi tugasnya, mka akan da suatu pekerjaan yang tidak tertangani dan semakin banyak pekerjaan yang tumpang tindih dan semrawut akan semakin besar pula kekacauan yang timbul.

Allah menggariskan bagi kaum laki-laki untuk memimpin wanita karena memang Allah mengkaruniai suatu alat bagi laki-laki untuk memimpin yang tidak dikaruniakan kepada wanita. Demikian pula Allah mempercayakan seorang bayi kepada kaum wanita lantaran Allah telah memberikan piranti kepadanya sesuatu yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki.

Contoh lain, Allah menetapkan bagi wanita separuh dari bagian laki-laki dalam hak waris, karena Allah melebihkan suatu beban bagi kaum laki-laki dengan apa yang tidak dibebankan bagi kaum wanita, yakni memberikan nafkah bagi keluarga. Begitulah, Allah memberikan sarana kepada makhluknya dengan apa yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Jika demikian pantaskah kita sambut seruan “persamaan gender” dalam hak-hak secara keseluruhan?

Baca Juga: Hukum Wanita Karir

Jika kaum wanita hari ini menuntut persamaan hak mendapatkan jatah kursi, persamaan hak untuk mendapatkan jatah warisan dan barang murahan lainnya, maka lihatlah apa yang menjadi tuntutan para sahabiyat yang seharusnya menjadi teladan kita.

Suatu ketika Asma’ bin Yazid bin Sakan menghadap Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah utusan para wanita yang berada di belakangku, mereka sepakat dengan apa yang aku katakan dan sependapat dengan pendapatku..sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus anda kepada laki-laki dan juga kepada para wanita. Kamipun beriman kepada anda dan mengikuti anda. Sedangkan kami para wanita terbatas gerak-geriknya, kami mengurus rumah tangga dan menjadi tempat menumpahkan syahwat bagi suami-suamikami, kamilah yang mengandung anak-anak mereka. Namun Allah memberikan kutaman kepada kaum laki-laki dengan shalat jama’ah, mengantar jenazah dan berjihad. Jika mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga hartanya dan memelihara anak-anaknya, maka apakah kami medapatkah pahala sebagaimana yang mereka dapatkan?”

Mendengar tuntutan Asma’ tersebut, Nabi menoleh kepada para sahabat seraya bersabda,”Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agamanya yang lebih bagus dari pertanyan ini?” Kemudian beliau bersabda, “Pergilah wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita di belakangmu bahwa perlakuan baik kalian terhadap suami dan upaya kalian mendapat ridha darinya serta ketaatan kalian kepadanya pahalanya sama dengan apa yang engkau sebutkan tentang pahala laki-laki.”

Maka perhatikanlah, adakah sama tuntutan hak para sahabiyat dengan kebanykan muslimah hari ini?

 

Oleh: Redaksi/Wanita

Seni Menjawab Keingintahuan Anak

 

“Ma, katanya Allah Maha Melihat. Tapi mengapa Allah menyuruh malaikat untuk mencatat dan melaporkan  semua amal manusia? Bukankah Allah bisa melakukannya sendiri?”

 

#senyum

Pernahkah Bunda menghadapi anak dengan pertanyaan seperti ini? Inilah sebuah keingintahuan yang terlontar dari mulut seorang balita. Mengapa begini atau mengapa begitu. Entah apa yang mereka pikirkan. Namun yang pasti, setiap orang tua maupun para pendidik yang berinteraksi aktif dengan anak, harus selalu siap menjawab semua pertanyaan mereka.

Pertanyaan anak-anak jaman sekarang, memang jauh berbeda dibanding masa kecil kita dulu. Media informasi yang diwakili oleh gadget dan televisi, telah banyak mereformasi cara berpikir setiap orang, termasuk anak-anak. Terlebih gaya pendidikan masa kini telah menjadikan mereka untuk bebas bertanya kepada orang-orang terdekatnya.

Namun bila kita perhatikan, pertanyaan yang muncul biasanya tidak jauh dari apa yang mereka lihat,amati dan rasakan. Ya, semua didorong oleh rasa ingin tahunya yang besar terhadap segala sesuatu.

Bekal rasa ingin tahu ini memang telah ada sejak manusia lahir. Kehebatan rasa ingin tahu inilah yang membuat bayi bisa merangkak, berjalan dan bicara. Selanjutnya rasa ingin tahu ini akan menentukan kualitas perkembangan otak seseorang. Ketika seorang bunda berkata “Tidak boleh!” Reflek mereka akan berkilah, “Memangnya kenapa kok tidak boleh?”

Baca Juga: Parenting Islami; Mama Galak, Kasihan si Anak

Sayangnya, tak sedikit orang tua yang memberikan intervensi negative sehingga naluri penting ini terkubur begitu saja. Sebagian mereka terkadang merasa tidak perlu menjawab pertanyaan anak yang terdengar konyol, lugu dan dibuat-buat. Bahkan menganggapnya tak berarti dan hanya membuang waktu. Tahukah bunda, hal membuat anak belajar untuk mematikan rasa ingin tahu. Ketika pertanyaan-pertanyaan mereka tidak terjawab dengan baik, mereka menjadi malas bertanya, apatis, dan tidak peduli dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tentu saja, ini sangat tidak mendidik dan berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak kelak.

Kita mungkin mengira, balita masih terlalu kecil dan tidak mengerti apa-apa tentang semesta kehidupannya. Padahal salah besar kalau kita menganggap seperti itu. Mereka justru memiliki daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari apa yang kita pikirkan. Dari sekian pertanyaan yang diajukan, pasti ada yang masuk dan direkam baik dalam otaknya. Mengapa? Karena otak mereka yang masih terus berkembang ini belum terpengaruh untuk memikirkan hal-hal komplek. Sehingga satu pertanyaan saja, bagi mereka ibarat mempelajari sebuah bab pelajaran sekolah sebagaimana yang dipelajari kakak-kakaknya. Maka setiap jawaban atas pertanyaan yang diajukannya akan mengasah ketajaman otaknya.

 

TRIK MENJAWAB PERTANYAAN ANAK

 

  1. Sabar

Orang tua biasanya merasa tidak punya waktu mendengarkan dan menjawab semua pertanyaan anak karena sempitnya waktu bersama mereka. Seorang ibu yang sudah disibukkan oleh berbagai pekerjaan rumah, mungkin akan lelah menghadapi seribu satu pertanyaan yang diajukan mereka. Ujung-ujungnya, tak jarang si anak malah mendapat bentakan, “Sudah diam. Ibu capek!” Jadi, salut kepada orang tua yang bersedia duduk diam menghentikan pekerjaannya, demi menjawab setiap keingintahuan anak.


  1. Jawab dengan Benar

Jawablah setiap pertanyaan anak dengan bahasa mereka yang singkat dan mudah dimengerti. Jika tidak tahu jawaban yang benar, lebih baik katakan tidak tahu. Jadi jangan bersikap sok tahu. Alih-alih mendapat jawaban yang tepat, anak justru menelan informasi yang ternyata salah. Respon yang baik dari orang tua akan membantu proses berpikir dan pemahaman mereka kelak. Tidak masalah bila ternyata mereka belum puas dengan jawaban yang diberikan sehingga kemudian bertanya lagi, lagi dan lagi. Orang tualah yang kemudian dituntut mencari jawab dengan bertanya, membaca, dan sebagainya.


  1. Mengajak Anak Ikut Mencari Jawab atas Pertanyaan yang Sulit

Mengajak anak membuka buku bersama atau bertanya kepada orang yang lebih tahu. “Yuuk… kita tanya ayah. Siapa tahu ayah lebih mengerti.” Dengan demikian si kecil akan belajar, bila kelak menghadapi masalah ia akan mencari orang yang bisa membantunya memecahkan masalah atau mencarinya di berbagai literatur.


  1. Adakalanya Tidak Langsung Dijawab.

Untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’, biarkan mereka berpikir dengan ikut mencari jawabnya. Maklumi jika jawabannya juga masih sangat sederhana karena kemampuan berpikirnya juga masih sangat terbatas. Khusus untuk pertanyaan ‘mengapa’ yang berhubungan dengan akidah, ibadah dan akhlak, giringlah mereka kepada perintah ittiba’ Rasul yang telah disyari’atkan.

 

Jadi, biarkan anak-anak bertanya. Karena itu adalah bagian dari hak mereka. Sesungguhnya selama 24 jam penuh, kitalah yang bertanggungjawab atas titipan Allah ini. Ya, untuk meluruskan, memperbaiki kesalahan dan membiarkan mereka berbuat kebaikan. Wallahu ‘alam.

 

Oleh: Redaksi/Parenting Islami

Suami, Tunaikan Hak Istri Agar tak Merasa Dieksploitasi

Wanita-wanita shalihah adalah pemimpin rumah tangga suami-suami mereka. Merekalah para penjaga benteng keluarga dari unsur-unsur perusaknya, agar tidak menerobos masuk dan menghancurkannya tanpa sisa. Mereka bukan hanya menyuapkan makanan dan memberikan ASI sebagai minuman anak-anak. Namun, juga menyuapkan santapan iman dan memberi minuman berwujud prinsip-prinsip mulia yang barakah. Mereka perdengarkan untaian dzikir dan shalawat kepada Rasulullah agar ketakwaan menghunjam ke dalam dada seluruh anggota keluarga, dan agar kecintaan kepada Islam semakin mengkristal dari hari ke hari.

Karenanya, mereka haruslah wanita cerdas, pandai, terampil dan bertakwa kepada Allah. Dari para wanita shalihah inilah akan lahir generasi pembangun masyarakat menuju kebaikan dan kekuatan, atau suami-suami yang menemukan surga dunia. Dan terbentuklah pondasi bangunan komunitas masyarakat muslim. Keterlibatan wanita dalam proses pendidikan anak-anak dan pelayanan terhadap suami, setara dengan Jihad kaum laki-laki di medan perang dan Shalat di masjid. Sebuah karir yang akan mengangkat mereka menuju derajat yang tinggi dan mulia di sisi Allah, dan menempatkan mereka di barisan wanita-wanita agung sepanjang sejarah peradaban manusia.

Baca Juga: Untukmu Muslimah, Agar Berhiasmu Bernilai Ibadah

Tugas menjadi ibu dan istri ini sangatlah berat. Dan karenanya itulah, di samping kewajiban-kewajiban yang mereka kerjakan, mereka pun memiliki sejumlah hak yang harus mereka peroleh. Bukan saja agar mereka tidak merasa dieksploitasi, namun juga sebagai alat bantu agar pekerjaan mereka tidak terasa memberatkan, di samping sebagai bentuk penghargaan Islam untuk mereka. Allah berfirman,

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang makruf”. (QS Al Baqarah; 228)

Tegasnya, ayat ini merupakan petunjuk bagi para suami bagaimana mereka menyeimbangan antara tuntutan yang mereka ajukan kepada para istri dan kewajiban yang harus mereka tunaikan. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya aku berhias untuk istriku, sebagaimana dia berhias untukku”.

Berikut ini hak istri yang harus dipenuhi:

  1. Hak Mendapat Bimbingan

Karena setiap aktifitas seorang muslim hakikatnya adalah ibadah, maka para istripun berhak mendapatkan bantuan guna menjaga kualitas ibadah dan ketakwaan mereka. Para suami berkewajiban membimbing dengan mengajarkan agama Islam agar mereka terhindar dari mengerjakan kedurhakaan kepada Allah Subhanaahu Wa Ta’ala. Atau memberi kesempatan kepada mereka untuk menghadiri majelis-majelis ilmu selama terjaga dari fitnah dalam ilmu-ilmu yang tidak dimampui para suami.

Termasuk di dalamnya adalah kewajiban menjaga kualitas ibadah istri dan anak-anak. Seperti membimbing mereka untuk menegakkan shalat, puasa, juga akhlak-akhlak islami dan ibadah-ibadah yang lain. Allah berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu…”. (QS. At Tahrim: 6)

Menurut Muqatil, peliharalah diri kalian adalah keharusan mendidik diri dan keluarga dengan cara memerintahkan mereka mengerjakan kebaikan dan melarang mereka berbuat kejahatan. Sdn Imam Ali bin Abi Thalib menjelaskannya dengan, “Ajarkan kebaikan kepada diri dan keluarga kalian”.

  1. Hak diperlakukan Secara Makruf

Allah berfirman,

“Dan pergaulilah mereka secara makruf”. (QS. An Nisaa’: 19)

Wujudnya adalah memperlakukan mereka dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka secara patut menurut ukuran yang wajar, dan pada batas-batas syariat. Seperti memberi mereka makan seperti apa yang di makan para suami. Demikian pula dalam hal minum, pakaian dan tempat tinggal. Tentu saja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki para suami itu sendiri.

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dab Ibnu Majah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam pernah ditanya tentang hak istri dari suaminya oleh seorang shahabat. Kemudian beliau menjawab,

“Engkau memberinya makan jika engkau makan. Engkau memberinya baju jika engkau berpakaian. Dan janganlah engkau memukul wajah, jangan menghinakannya dan jangan memisahkannya kecuali di dalam rumah”.

Termasuk di dalamnya adalah segera pulang ke rumah setelah shalat Isya’ apabila tidak ada keperluan yang sangat penting, agar mereka tidak cemas, dan melahirkan kecemburuan.

  1. Hak Mendapat Penjagaan

Karena para suami adalah pemimpin bagi para istri, maka mereka bertanggung jawab dalam menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka, dengan mewaspadai hal-hal yang bisa merendahkan dan menodai martabat mereka. Para suami harus melarang istri-istri mereka untuk berhias ala jahiliyah dan bergaul dengan selain mahram. Para suami juga harus memiliki kecemburuan atas istri-istri mereka sebagai bukti kepedulian mereka atas kehormatan para istri. Bukan malah bangga ketika istri-istri mereka dipuji kecantikan dan kemolekan mereka.

Termasuk di dalamnya adalah penjagaan atas aib mereka dengan tidak membeberkannya kepada khalayak ramai, baik fisik maupun akhlak. Sedang untuk urusan ranjang, larangan dari Rasulullah lebih tegas lagi. Sebab itu seperti setan laki-laki yang bersetubuh dengan setan perempuan di jalan dan dilihat orang lain.

  1. Hak Mendapatkan Maaf

Para wanita adalah manusia biasa yang kadang salah dan lupa. Mereka kadang juga memiliki kemampuan menunaikan sesuatu kewajiban yang tidak sesuai dengan keinginan para suami. Karenanya terlarang para suami mencari-cari kesalahan dan kekurangan istri-istri mereka, karena pasti akan mereka dapatkan. Namun akan lebih baik mencari kelebihan-kelebihan dan kebaikan mereka, ridha terhadap semua itu dengan berusaha membantu dan memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan kemampuan, serta tidak mempersulit memberi maaf kepada mereka jika ada hal-hal yang mengecewakan.

Sabda Rasulullah di dalam hadits riwayat Muslim,

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ada satu akhlak yang tidak disenanginya, maka bisa jadi ada (akhlak) yang lain yang diridhainya”.

Bukan hanya menahan diri dari perilaku tidak terpuji kepada mereka, namun juga bersabar atas gangguan, kekeliruan dan kemarahan mereka.

  1. Hak diperlakukan dengan Adil

Ini apabila seorang suami memiliki lebih dari satu istri. Keadilan di antara para madu adalah dalam pemberian makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan giliran bermalam. Condong kepada salah satu di antara mereka adalah perilaku sewenang-wenag, tidak adil dan haram hukumnya di sisi Allah Subhanaahu Wa Ta’ala. Rasulullah bersabda di dal hadits riwayat At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan  An Nasaai,

“Barangsiapa memiliki dua istri sedang dia lebih condong kepada salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan miring separuh tubuhnya”.

Alangkah indahnya jika masing-masing pihak yang bersekutu dalam membangun sebuah keluarga muslim mengetahui dan menunaikan kewajiban mereka. Tidak hanya saling menuntut dan menyalahkan, tapi mampu melihat kekurangan diri dan mengalah jika da hal-hal yang belum memuaskannya. Para suami harus thu bahwa mereka adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungan jawab di hadapan Allah. Juga bahwa para istri ternyata memiliki serangkaian hak yang seimbang dengan kewajiban mereka. Dan itu berarti kewajiban bagi para suami.

Baca Juga:Istri Shalihah pendukung Dakwah

Rasulullah bersabda dalam hadits riwayat At Tirmidzi dan Ibnu Majah,

“Ketahuilah, sesungguhnya kalian memiliki hak atas istri-istri kalian, dan mereka pun memiliki hak atas kalian”.

Bagaimana seorang suami bersikap di dalam rumah tangganya, sesungguhnya menunjukkan kualitas imannya. Tengok saja sabda Rasulullah di dalam sebuah hadits riwayat At Tirmidzi,

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istri mereka”.

Wallahu A’lam.

Oleh: Redaksi/Keluarga Islami

Untuk Muslimah: Agar Berhiasmu Bernilai Ibadah

Berhias merupakan suatu hal yang sangat lekat dengan kehidupan manusia, terutama bagi kaum wanita. Karena, wallahu a’lam, secara psikologis, rata-rata wanita lebih merasa tertuntut untuk selalu tampil menarik daripada laki-laki. Sehingga, bagi sebagian wanita, berhias menjadi sebuah kegemaran yang mengasyikan, yang terkadang mereka tanpa sadar menghabiskan waktu berjam-jam untuk merawat diri agar dapat selalu tampil anggun-mempesona. Beribu-ribu atau bahkan berjuta-juta rupiah rela mereka keluarkan sebagai anggaran berhias yang terkadang sangat melampaui batas. Semua itu dilakukan demi kecantikan dan penampilan fisik yang selalu menarik.

 

Agar Berhias Bernilai Ibadah

Islam tidak menafikan kegemaran berhias bagi wanita. Boleh-boleh saja wanita itu berhias, bahkan terkadang berhiasnya wanita bisa bernilai ibadah, tatkala itu dilakukan untuk membahagiakan hati suaminya tercinta. Bersolek di depan suami merupakan kebiasaan terpuji para istri penyejuk hati.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia menuturkan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, wanita bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab:

“(Yaitu wanita) yang selalu membahagiakan (suami)nya bila dipandang, mematuhinya bila diperintah, dan tidak pernah menyelisihinya dalam hal diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai oleh suaminya.” (HR. Nasa’i dan Ahmad)

As-Sanadi menjelaskan, “Yang dimaksud membahagiakan (suami)nya bila dipandang, yakni karena kecantikannya secara lahir, atau kebagusan perilakunya secara batin dan senantiasa menyibukkan diri dengan ketaatan dan bertakwa kepada Allah.” (Hasyiyah As-Sanadi ‘ala Syarh An-Nasa’i, VI/68)

Islam melarang seorang suami yang telah lama bepergian meninggalkan istrinya untuk memasuki rumahnya di larut malam, karena dikhawatirkan saat itu istri dalam keadaan tidak berhias dan acak-acakan penampilannya. Sehingga yang demikian membuat rasa kecewa dan tidak simpatik dalam hati suami. Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Dahulu kami pernah bersama Rasulullah  dalam peperangan. Manakala kami telah tiba di kota Madinah, kami hendak segera memasukinya. Maka beliau bersabda:

Tundalah sebentar, hingga kita memasukinya di malam hari (waktu Isyak), agar wanita yang rambutnya acak-acakan bisa menyisirnya dan yang telah lama ditinggal pergi suaminya bisa mencukur bulu kemauluannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kata asy-sya’itsah artinya istri yang kepalanya berdebu dan rambutnya tidak beraturan. Disebut seperti itu, karena wanita yang suaminya tidak berada di rumah biasanya tidak memperhias diri. Sehingga, Rasulullah melarang memasuki rumah di waktu-waktu yang diperkirakan istri sedang tidak dalam kondisi berhias.

Demikianlah, Islam memberikan perhatian besar kepada para istri untuk menyenangkan hati suaminya. Walaupun, kurang bijak tatkala seorang suami selalu menuntut istrinya untuk senantiasa berdandan, sedangkan dirinya justru berpenampilan acak-acakan setiap hari di hadapan istrinya. Suami-istri harus saling menjaga perasaan hati pasangannya, agar keharmonisan akan terus mewarnai hari-hari bahagia mereka.

  

Jangan Mengubah Ciptaan Allah!

Islam telah memberikan rambu-rambu berhias yang harus diperhatikan oleh para wanita muslimah, agar mereka tidak terjebak kepada model berhias yang diharamkan. Walaupun, di zaman ini, dengan dalih mematut diri dan menjaga kecantikan, sebagian wanita justru menempuh cara-cara yang dilarang oleh agama. ‘Operasi plastik’ demi merawat kecantikan termasuk perkara haram yang telah ‘dihalalkan’ di zaman ini. Karena, di dalamnya terdapat unsur mengubah-ubah ciptaan Allah Ta’ala.

Baca Juga: Tetap Takwa Saat Jodoh Tak Kunjung Tiba

Ibnul Arabi mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan rupa, lalu membaguskannya dalam susunan bentuk yang asli. Selanjutnya membuat berbeda-beda kecantikan rupa-rupa tersebut, dan menjadikannya beberapa tingkatan. Barangsiapa hendak mengubah ciptaan Allah pada dirinya dan melenyapkan kebijaksanaan-Nya dalam rupa-rupa itu, berarti ia terlaknat, karena ia berani melakukan hal yang terlarang.” Imam Ath-Thabari menegaskan, “Wanita tidak boleh mengubah sesuatu pun dari bentuk yang ia telah diciptakan oleh Allah dalam bentuk tersebut, baik dengan tambahan atau pengurangan, demi memburu kecantikan, tidak untuk suami dan tidak pula untuk selainnya.”

 

Hindari Berhias Model Ini!

Ada beberapa aktivitas merawat kecantikan yang dilarang oleh Islam, dan seyogianya ditinggalkan oleh para wanita muslimah. Rasulullah telah bersabda :

Rasulullah telah melarang wanita yang bertato atau minta dibuatkan tato, yang menyambung rambutnya atau minta disambungkan, dan yang mencabut bulu alis atau yang minta dicabutkan.” (HR. an-Nasa’i)

Dalam hadits lain, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah bersabda, “Allah telah melaknat wanita bertato dan yang dibuatkan tato, dan wanita yang mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan, serta yang merenggangkan giginya demi kecantikan, yang mengubah-ubah ciptaan Allah.” (HR. Tirmidzi)

Rasulullah telah melarang empat hal dalam aktivitas berhias.

Pertama, merenggangkan atau meruncingkan gigi demi kecantikan. Ini biasa dilakukan wanita tua agar tampak masih muda. Namun, jika tujuannya untuk terapi dan pengobatan, maka itu tidaklah dilarang. Misalnya, seorang wanita yang memiliki gigi yang menonjol (tongos) yang memperjelek penampilan dan mengganggu saat makan, atau memiliki gigi yang berlobang, maka ia boleh mencabutnya. Karena, menghilangkan cacat itu pada dasarnya diperbolehkan secara syar’i, kecuali ada dalil yang melarangnya.

Kedua, mencabut bulu alis. Yang dilakukan oleh para wanita masa kini, berupa membentuk bulu alis atau merampingkannya dengan menggunting, mencukur atau mencabuti sisi tepinya, maka itu termasuk an-namash (mencabut bulu alis) yang diharamkan.

Baca Juga: Pernah Dinodai Pacar, Bagaimana Solusinya?

Ketiga, menyambung rambut, yakni mengubah ciptaan Allah demi kecantikan, dengan cara menambahkan rambut palsu pada wanita, baik dari rambutnya sendiri atau dari rambut orang lain, dan baik rambut manusia atau yang selainnya.

Keempat, mentato tubuhnya, lalu dilukis di atasnya nama kekasihnya, gambar bunga-bungaan, lambang-lambang cinta, dan yang lainnya.  

Muslimah tampil cantik tidaklah dilarang. Namun, jangan lakukan cara-cara yang diharamkan. Jangan pula dipamerkan kepada semua orang di sepanjang jalan. Suguhkan kecantikanmu hanya teruntuk suamimu tercinta. Bagi yang belum menikah, sembunyikan kecantikanmu, dan niatkan itu hanya untuk suamimu kelak! Wallahul musta’an. 

 

Oleh: Redaksi/Muslimah

Ajarkan Muraqabah Pada Anak, Agar Selamat Dunia Akhirat

Salah satu hal terpenting yang perlu diajarkan orang tua kepada anak adalah perasaan selalu dilihat oleh Allah atau muraqabah. Muraqabah merupakan landasan keshalihan seorang anak. Oleh karena itu, Luqman memberikan nasihat kepada anaknya, “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Luqman:  16)

Salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam adalah menumbuhkan perasaan diawasi oleh Allah. Perasaan bahwa Allah dengan ilmu dan kekuasaan-Nya senantiasa melihat dan memberikan balasan sesuai dengan yang dikerjakan.

Dalam sebuh hadits diceritakan bagimana Rasulullah mengajarkan tentang muraqabah ini kepada Abdullah bin Abbas. “Suatu hari,” kata Abdullah bin Abbas, “saya diboncengkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda kepadaku, “Nak, maukah aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat:  Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Baca Juga: Beberapa Kiat Agar Anak Berbakti Kepada Orangtua

Dengan perasaan bahwa Allah selalu mengawasi, anak akan dengan mudah memutuskan segala bentuk ketergantungan kepada selain-Nya. Anak akan terjaga dari kemaksiatan dan senantiasa dalam ketaatan baik saat ia sendiri maupun saat bersama orang lain. Anak akan senantiasa istiqamah di atas jalan Allah baik saat senggang maupun saat sibuk.

Dengan menanamkan sifat ini, muncullah pribadi-pribadi kuat layaknya Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid, Usaid bin Zhahir, Al-Bara bin Azib, Zaid bin Arqam, dan yang lainnya. Kita lihat bagaimana Ali bin Abi Thalib pada usia 10 tahun telah beriman kepada Rasulullah sehingga ia mengalami berbagai gangguan dan intimidasi dari kaum kafir. Meskiun demikian, ia tetap berpegang teguh pada prinsip yang ia pilih.

Mendidik anak untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah akan memunculkan ruh untuk senantiasa terkait dengan Allah di setiap keadaan. Apabila orang tua berhasil menanamkan  perasaan ini insyaallah anak akan terjamin keistiqamahan dan keselamatannya dari penyimpangan meskipun jauh keberadaannya jauh dari orang tua.

Ketika anak telah dapat membedakan baik dan buruk, orang tua perlu mengaitkan segala aktivitas anak dengan Allah. Bahwa manusia memiliki tanggung jawab di hadapan Allah dan kewajiban kepada Allah. Ketika anak melakukan kewajiban berupa melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya maka Allah akan memberikan balasan berupa kebahagiaan. Sebaliknya, ketika anak melakukan hal yang dilarang oleh Allah maka Allah akan memberikan ganjaran yang buruk. Sedangkan manusia tidak bisa bersembunyi dari Penglihatan Allah.

Dalam hal ini orang tua dapat memotivasi anak dengan memujinya ketika si anak melakukan kebaikan. Misalnya dengan mengatakan, “Masyaallah, pinternya anak abi. Semoga Allah memasukkan kamu ke surga.” Selain itu, orang tua juga perlu mengingatkan anak bahwa Allah marah kepada orang yang melakukan keburukan. Untuk memperkuat hal tersebut, ajarkan kepada anak ayat dan hadits tentang surga dan neraka. Carilah waktu yang tepat untuk menyampaikannya, misalnya dalam perjalanan mengantarkan mereka ke sekolah. Orang tua dapat menyampaikan hadits dan ayat tersebut dengan penjelasan yang baik dan mudah diterima.

Baca Juga: Kenangan dan Bekas yang Baik Pada Anak

Orang tua dapat mengajarkan sifat ini dengan memberikan contoh dari kisah para orang shalih terdahulu. Seperti penjual susu yang tidak mau mencampur dengan air karena takut kepada Allah atau penggembala yang tidak mau menjual dombanya karena merasa diawasi oleh Allah.

Orang tua juga harus memberi teladan. Jangan sampai apa yang disampaikan orang tua bertolak belakang dengan perbuatannya. Karena anak akan selalu melihat dan meniru perilaku orang dekat, dan orang tualah orang yang paling dekat dengan mereka.

Penanaman perasaan muraqabah ini mencakup 4 hal, mengacu pada pendapat Syeikh Dr. Abdullah Nasih Ulwan, dalam kitabnya, “Tarbiyah Ruhiyah.”

1. Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah. Orang tua menanamkan keikhlasan dalam diri anak saat menjalankan segala perintah-Nya. Seperti benar-benar menfokuskan tujuan amal ibadahnya hanya kepada Allah dan karena Allah dan bukan karena faktor-faktor lainnya.

2. Muraqabah dalam kemaksiatan. Orang tua mengajarkan bahwa Allah murka pada orang yang berbuat maksiat sehingga ia harus menjauhi kemaksian, bertaubat, menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dan lain sebagainya.

3. Muraqabah dalam hal-hal yang mubah. Orang tua menanamkan adab-adab terhadap Allah, bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada kita, dan melakukan amalan kebaikan untuk mendapatkan pahala dari Allah.

4. Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada ketentuan Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran. Ia yakin bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang datang dari Allah dan menjadi hal yang terbaik bagi dirinya, dan oleh karenanya ia akan bersabar terhadap sesuatu yang menimpanya.

Semoga bermanfaat.

 

Oleh: Redaksi/Parenting


Baca juga artikel islami menarik penyubur iman dan penguat ketakwaan hanya di majalah islam ar-risalah. Segera miliki majalahnya dengan menghubungi agen terdekat atau kunjungi fanspage kami di FB: Majalah ar-risalah

Buat Para Wanita; Awas Bidadari Marah Padamu

Menyakiti suami dan berperilaku buruk kepadanya merupakan dosa yang harus dijauhi oleh para istri. Karena, hal itu bisa menimbulkan dampak negatif yang sangat merusak, baik berkaitan dengan masa depan kehidupan rumah tangga, maupun masa depan ‘kepribadian’ kedua pasangan. Berapa banyak kemaksiatan dan kasus-kasus perselingkuhan yang membelit kehidupan suami-istri, karena salah satu pihak atau keduanya merasa pasangannya tak lagi mampu memberikan ‘keteduhan’?

 

Protes Sang Bidadari

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasul SAW bersabda, “Aku telah melihat neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.” Seorang perempuan bertanya, “Wahai Rasul, ada apa gerangan dengan kaum wanita?” Beliau bersabda, “Mereka mengkufuri.” Dikatakan, “Apakah mengkufuri Allah?” Beliau bersabda, “Mengkufuri suami dan banyak melaknat. Apabila kalian (para suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka seumur hidup, lalu ia melihatmu berbuat satu kesalahan, maka ia akan berkata, ‘Aku tak pernah melihat kebaikan pada dirimu sama sekali’.”

 

Baca Juga: Kabar Gembira Untuk Para wanita

 

Mengkufuri suami dan tidak berterima kasih kepada kebaikannya merupakan salah satu tindakan ‘menyakiti suami’. Dan, hal itu termasuk salah satu faktor yang dapat menjerumuskan para istri ke dalam kobaran api neraka. Wal ‘iyadzu billah.

Bahkan, para bidadari surga pun akan murka kepada seorang istri yang suka menyakiti suaminya. Rasul n bersabda:

 

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا، إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ، قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ دَخِيْلٌ عِنْدَكَ، يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari yang bermata jeli akan berkata, ‘Jangan kau sakiti dia. Semoga Allah membinasakanmu. Sesungguhnya dia di sisimu tak ubahnya seperti orang singgah, yang hampir meninggalkanmu menuju kepada kami’.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, serta dishohihkan oleh Al-Albani)

Wahai Saudariku! Bisa jadi, engkau saat ini bukanlah istri yang hakiki bagi suamimu di dunia ini. Maka, para bidadari pun berujar, “Suamimu laksana tamu bagimu, dan engkau bukanlah istrinya yang hakiki. Sungguh, kamilah istrinya yang sebenarnya. Dia akan segera berpisah denganmu dan berjumpa dengan kami!” Para bidadari itu memprotes keras seorang istri yang suka menyakiti suaminya, “Jangan sakiti ‘suamiku’. Semoga Allah melaknatmu.” (Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’it Tirmidzi).

 

Jangan Sakiti Dia!

Terdapat beberapa perilaku dan sikap yang harus dihindari oleh para istri, karena itu bisa memercikkan lelatu kesengsaraan dalam kehidupan rumah tangganya. Antara lain bisa menyebabkan suaminya ‘tersakiti’, baik tersakiti hatinya maupun jasmaninya. Sudah pasti, bahwa sesuatu yang dilarang dalam Islam, tentu memiliki ‘bom keburukan’ yang siap meledak dan merusak tatanan kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan keluarga. Hindarilah dosa-dosa berikut ini, wahai para istri!

Pertama,

Menentang dan membantah suami (nusyuz). Yakni istri tidak menaati perintah suami, padahal suaminya tidak menyuruhnya untuk bermaksiat kepada Allah. Nusyûz artinya adalah ‘naik atau tinggi’. Nusyûz az-zaujah, berarti meningginya istri dari suami, dengan mengabaikan perintahnya dan berpaling darinya. Berbuat nusyuz kepada suami berarti telah berbuat durhaka dan menyakiti hatinya. Rasul n menegaskan pentingnya ketaatan istri kepada suami, hingga beliau bersabda, “Jikalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka benar-benar akan aku perintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)

Kedua,

Kebutuhan biologisnya ‘terhujat’. Yakni istri enggan melayani keinginan suami untuk berjimak, sehingga kebutuhan biologis suami tak mampu tersalurkan. Hal ini jelas sangat menyakitkan hati suami, dan sangat berpotensi merusak keharmonisan kehidupan rumah tangga. Rasul n bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang lelaki mengajak istrinya ke ranjang, lalu si istri menolaknya, hingga ia bermalam dalam keadaan marah, niscaya para malaikat akan melaknat si istri tersebut hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Baca Juga: Bila Wanita Melamar Pria

 

Ketiga,

Meminta talak tanpa sebab. Istri yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan syara’ berarti telah memutuskan tali pernikahan yang agung. Dan itu terlarang dalam Islam. Disebutkan dalam hadits, “Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya, maka ia haram mencium aroma surga.” (HR. Ashabus Sunan dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Keempat,

Berkhalwat dengan lelaki yang bukan mahram. Berapa banyak bermula dari ‘lezatnya’ khalwat, hingga akhirnya banyak istri yang terjerumus ke dalam perbuatan terlaknat? Yakni selingkuh, menjalin hubungan asmara dengan lelaki lain. Na’udzubillah. Betapa tersakitinya hati suami, melihat istrinya ‘berkhianat’ kepadanya. Rasul SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian juga, termasuk perbuatan menyakiti suami, jika istri suka menyebarkan rahasia suaminya, dan membelanjakan harta suami secara tidak benar. Sungguh, Allah akan melaknat istri yang berbuat zhalim kepada suaminya. Sebagaimana juga ‘doa kemurkaan’ akan meluncur dahsyat dari bibir para bidadari yang bermata jeli sebagai sebuah bentuk protes abadi, “Jangan sakiti ‘suamiku’. Semoga Allah membinasakanmu!” Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Oleh: Redaksi/Wanita/Keluarga

 

 

Bila Rasa Bosan Dengan Pasangan Mulai Menjangkiti

Jika anda bertemu dengan konsultan rumah tangga, tanyalah, sudah berapa banyak klien yang mengadu bahwa mereka sudah tidak lagi cinta pada pasangannya. Rasa cinta pada pasangan tidak seperti pohon yang semakin lama semakin besar, kuat, rindang dan menyejukkan, tapi seperti mesin yang makin hari makin aus, banyak masalah dan sering mogok. Pasangan mungkin masih hidup bersama, masih melakukan hubungan badan, tapi semua terasa hambar dan diselimuti kejenuhan.

Kondisi seperti ini dapat terjadi pada siapapun, bagaimanapun cara mereka menikah. Pasangan yang memulai mahligai rumah tangga dengan cinta pertama, tatapan yang serasa membuat dunia berhenti, pacaran yang penuh romansa, pernikahan yang membuat bujangan dan perawan lain patah hati, dan awal kehidupan berumah tangga yang terlihat bahagia, pun bisa dihinggapi kejenuhan pada akhirnya.

 

Baca Juga: Menjadi Suami Rumah Tangga Seperti Nabi

 

Waktu yang berlalu, membuka semua tabir diri masing-masing; masa lalu, rahasia-rahasia pribadi, sifat-sifat yang tak disukai, sikap-sikap yang sering salah dan menyakiti, juga perubahan-perubahan fisik maupun perilaku dan sebagainya. Semua ini membuat cinta yang dulu berseri serasa layu bahkan mati.

 Atau pasangan yang mememulai rumah tangga dengan cara islami; tanpa pacaran, ta’aruf, istikharah, dan akhirnya menikah dengan niat awal hanya mencari ridha Allah pun tidak menutup kemungkinan tertimpa masalah yang sama. Ada yang sejak awal, ternyata memang tak mampu menumbuhkan cinta sebagaimana cintanya Romeo dan Juliet, Zainudin dan Hayati atau Ainun dan Habibi. Waktu berlalu dan sekian kali mencoba, namun rasa klik itu tak kunjung tiba. Atau ada yang sempat merasakan indahnya menikah tanpa pacaran, namun beberapa tahun kemudian, kebosanan pun melanda dan mereka pun menghadapi masalah yang sama dengan dua contoh sebelumnya.

 

Harus Bagaimana?

Dari sisi sunnah kauniyah, munculnya kejenuhan setelah lama menjalani rumah tangga, pada dasarnya wajar adanya. Hanya pasangan-pasangan yang memang dikaruniai cinta seperti pohonlah yang barangkali tak merasakannya. Pertemuan yang lama dengan intensitas luar biasa dalam rumah tangga, tentu sangat mungkin menimbulkan rasa bosan.

Nabi sendiri pernah menyatakan bahwa setiap amal memang mungkin mengalami syirrah, masa bosan, masa jenuh. Tak hanya menikah, menjalankan shalat pun, bisa pula dijangkiti rasa bosan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Setiap amal perbuatan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa jenuhnya. Barang siapa yang masa jenuhnya tetap menuju sunnahku, maka sungguh dia telah mendapatkan petunjuk. Namun barang siapa yang masa jenuhnya menuju pada yang lainnya, maka sungguh dia telah binasa.” (HR. Ahmad).

Menurut hadits ini, rasa bosan itu tidak akan menjadi masalah jika diatasi dengan benar. Yaitu tidak berpindah dari garis sunnah menuju maksiat. Begitu pula saat mengalami kejenuhan dalam menjalani pernikahan. Jika rasa ini menjangkiti, pastikan tetap berada di atas sunnah. Tetap berada di atas sunnah dalam hal ini wujudnya bisa beragam. Tetap menjaga hak-hak pasangan dan melaksanakan sunnah lain berupa mu’asyarah bil ma’ruf, berinteraksi dengan cara yang baik, juga sunnah Nabi dalam berumah tangga. Melakukan hal-hal baru seperti berlibur, pergi mencari ilmu atau berdakwah selama beberapa waktu agar tumbuh kerinduan, juga merupakan sunnah. 

 

Baca Juga: Istri Shalihah Pendukung Dakwah

 

Bagaimana dengan poligami? Jika pun sunnah ini dianggap sebagai solusi, tentu akan menjadi solusi sepihak, bagi lelaki saja. Perlu diingat juga, tanggung jawab sunnah poligami tak bisa diremehkan. Jika alasannya semata karena bosan, poligami malah bisa mendatangkan masalah lebih serius daripada kebosanan itu sendiri. Diperlukan manajemen yang baik agar solusi ini benar-benar menjadi solusi. Jangan sampai setelah poligami, justru menghadapi kejenuhan double dengan dua istri atau bahkan kejenuhan quadrople karena istrinya empat dan keempatnya tengah mengalami masa yang sama.

Intinya, tetap berada di atas sunnah dan jangan sampai menjadikan maksiat sebagai pelarian. Tidak sedikit pasangan yang dengan alasan merasa jenuh, akhirnya selingkuh. Seakan hal itu bisa dibenarkan. Mulai dari sekadar curhat sampai maksiat yang lebih terlaknat. Padahal semestinya setiap pasangan harus menyadari bahwa fase jenuh dalam pernikahan boleh dikata merupakan salah satu konsekuensi dalam sebuah hubungan yang sangat intens seperti pernikahan. Pernikahan tidak selalu berada dalam kondisi bahagia, damai dan tanpa masalah. Akan ada masalah, akan ada yang salah, akan datang masa jenuh, akan datang pula masa penuh problema. Harus dihadapi dan diobati, bukan ditinggal lari.

 

Baca Juga: Milikilah Rasa Cemburu

 

Lari dari kejenuhan dalam berumah tangga dengan berselingkuh seperti mengobati pegal-pegal dengan minum minuman keras. Saat minum, pegalnya tidak terasa tapi sebenarnya tidak hilang, malah isi perut, ginjal dan organ lain harus menanggung akibat buruk dari alkohol. Selingkuh tidak akan mengobati kejenuhan malah pasti menimbulkan masalah dalam rumah tangga, rumah tangga sendiri, bahkan orang lain. Sampai walaupun akhirnya rumah tangga harus berakhir, lalu menikah dengan selingkuhan, kejenuhan ini akan kembali menjangkit. Apakah akhirnya juga akan diakhiri dengan perselingkuhan dan perceraian lain?

Cinta memang bisa layu, hambar dan memudar. Namun sebagaimana ia bisa tumbuh dan mati, cinta juga bisa hidup kembali. Sebagaimana cinta pernah mekar dan berseri, dia juga bisa disirami agar tumbuh kembali. Wallahua’lam.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Pasutri

 

Jangan Cemas Bila Anak Tak Paham Pelajaran di Sekolahan

Jangan langsung cemas saat melihat anak kita tak cepat faham saat kita membantu menerangkan pelajaran padanya. Jangan pula langsung memvonis, ada yang kurang dengan otaknya atau mencapnya sebagai anak bandel karena tak memperhatikan. Kita harus ingat bahwa otak memiliki metode berbeda-beda untuk bisa belajar dengan  efektif. Ada yang lebih cocok dengan mendengarkan, ada yang dengan membaca dan adapula yang baru bisa belajar setelah praktek nyata di lapangan.

Kita juga tak perlu panik secara berlebihan ketika melihat nilai akhir atau rapor anak kita yang ‘bersahaja’, dengan nilai-nilai seadanya. Sebab, bisa jadi ada kecenderungan, bakat atau talenta lain yang ia miliki. Lemah di pelajaran, tapi ia sangat piawai soal manajerial, sangat suka dengan niaga dan semua yang berkaitan dengan perdagangan. Atau juga  ia memiliki jiwa petualang atau mungkin pintar dalam komputer dan senang dengan berbagai perkembangan teknologi dan banyak potensi lain.

 

Baca Juga: Salah Kaprah Mendidik Anak

 

Melihat dua realita seperti ini, pertama kita hanya perlu evaluasi dan mencoba menerapkan metode pembelajaran yang pas. Dan yang kedua, kita hanya perlu meluangkan waktu untuk lebih memperhatikannya. Mendalami kecenderungan dan bakat positifnya, untuk kemudian kita salurkan dan optimalkan.

 

Inilah Yang Seharusnya Anda Cemaskan!

Akan tetapi ketika kita melihat anak kita memiliki sense beragama yang tak seberapa, juga ketaatan pada aturan-Nya yang sangat kurang, maka inilah masalah kita yang sebenarnya. Malas shalat, enggan membaca al Quran atau bahkan tidak bisa membaca, suka mengungkapkan kata-kata kotor, perilaku yang cenderung brutal dan memberontak pada orangtua dan lain sebagainya. Melihat semua ini, kita harus berpikir bahwa ada yang salah dalam pendidikan mereka. Dan prosentase introspeksi lebih besar harus kita tujukan pada diri sendiri sebagai orang tua. Sebab, secara tanggungjawab ilahiyah, kita tidak mungkin menimpakan batu kesalahan pada orang atau faktor lainnya.

Paling tidak ada dua hal yang perlu kita evaluasi.

Pertama, seberapa besar perhatian dan respon kita pada hal-hal yang sifatnya diniyah? Sebab, tak jarang, sebagian kita lebih tertarik dan cenderung memberikan apresiasi hanya pada prestasi-prestasi yang diraih anak dalam urusan duniawi. Kita beri hadiah saat ia juara menyanyi, kita puji saat ia pandai menguasai teknologi. Tapi prestasi-prestasi yang sifatnya diniyah, kita tak pernah ambil peduli. Dari perhatian yang kita berikan, anak akan membuat klasifikasi; yang ini penting karena orangtua memberikan apresiasi dan yang ini tidak penting karena toh orang tua juga tak menganggapnya penting.

Kedua, sudahkah kita memilihkan lingkungan yang baik untuknya? Jika disekitar rumah buruk kondisinya, kita bisa menilai sendiri, seberapa besar proteksi yang telah kita berikan? Dan yang lainnya adalah tentang sekolah. Dalam memilih sekolah, kita harus benar-benar teliti dan hanya asal anak senang. Sebab, lingkungan sekolah memiliki pengaruh cukup besar pada anak.

Prinsip dasar yang harus kita pegang adalah, Allah menciptakan manusia untuk beribadah pada-Nya. Dan kita diberi anugerah anak, bukan lain adalah untuk membentuknya menjadi hamba-Nya yang shalih, itulah tujuan utamanya.

 

Oleh: Taufik Anwar/Parenting

Menjadi Suami Rumah Tangga Seperti Nabi

Banyak suami merasa pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, memasak, mencuci piring, momong anak adalah pekerjaan domestik istri. Banyak suami yang tak mau menyentuh ranah ini. “Saya paling tidak suka bila tidur saya terganggu, apalagi untuk mengganti popok anak,” ujar seorang bapak. Ada juga yang mengatakan, “Saya sudah sibuk seharian bekerja. Urusan rumah tangga urusan istri.”  Padahal, suatu hal yang baik apabila suami mau membantu pekerjaan rumah yang biasa dilakukan istri untuk meringankan pekerjaan dan beban keseharian istri.

Ummul mukminin, Aisyah pernah ditanya, “Apa yang dilakukan Nabi di rumah?” Beliau menjawab, “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya.” (HR. Bukhari).

Dalam hadits ibunda Aisyah yang lainnya, beliau berkata, “Nabi saw menjahit kainnya, menjahit sepatunya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh kaum wanita di rumah mereka.” (HR. Ahmad).

Baca Juga: Kisah Pasangan Harmonis Yang Paling Tragis

Tentu tak ada yang meragukan kesibukan Rasulullah, bukan? Beliau seorang Nabi dengan kesibukan dakwah yang luar biasa dan beliau juga seorang pemimpin. Namu, beliau sangat senang membantu pekerjaan istri beliau. Hal itu beliau lakukan kapan saja selagi beliau di rumah bersama istrinya.

Al-Aswad pernah bertanya kepada ibunda Aisyah, istri Rasulullah, mengenai apa yang dilakukan Nabi di rumah. Beliau mengatakan, “Beliau biasanya suka membantu urusan keluarganya, lalu ketika waktu shalat tiba, beliau pergi ke masjid untuk mengerjakan shalat.”

Catatan penting bagi para suami bahwa ketika tiba waktu shalat, Nabi meninggalkan pekerjaan rumahnya untuk pergi ke masjid. Rasulullah meninggalkan pekerjaannya saat panggilan adzan berkmandang di masjid. Tak ada istilah kena tanggung, pakaian masih kotor, dan lain sebagainya.

Nabi telah memberi teladan kepada para suami bahwa mengerjakan pekerjaan rumah bukanlah hal yang tabu. Suami harus menyadari bahwa meskipun tampak sepele, pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang berat. Istri dituntut untuk bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu demi untuk berbakti kepada suaminya. Membuatnya senang dan betah di rumah.

 

Mari kita Tengok Kembali Kisah Fathimah, Putri Rasulullah

Fathimah merasa lelah dengan banyaknya pekerjaan rumah tangga yang harus ditanganinya. Dia pun pergi menemui Rasulullah untuk meminta seorang pembantu, yakni seorang wanita yang bisa membantunya.

Tatkala Fathimah memasuki rumah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dia tidak mendapatkan beliau. Dia hanya mendapatkan Aisyah, Ummul Mukminin. Lalu Fathimah menyebutkan keperluannya kepada beliau. Tatkala Rasulullah tiba, ibunda Aisyah mengabarkan urusan Fathimah.

Beliau mempertimbangkan permintaan Fathimah. Kebetulan memang beliau mempunyai beberapa orang tawanan perang, di antaranya wanita. Tetapi tawanan-tawanan ini akan dijual dan hasilnya akan disalurkan kepada orang-orang Muslim yang fakir, yang tidak mempunyai tempat tinggal dan makanan. Lalu beliau pergi ke rumah Fatimah. Saat itu Fatimah dan suaminya hendak tidur. Beliau masuk rumah putrinya dan bertanya, “Saya mendapat kabar bahwa kamu datang untuk meminta satu keperluan. Apakah keperluanmu?”

Fathimah menjawab, “Saya mendengar kabar bahwa beberapa pembantu telah datang kepada engkau. Maka aku ingin agar engkau memberiku seorang pembantu untuk membantuku membuat roti dan adonannya. Karena hal ini sangat berat bagiku.”

Beliau berkata, “Mengapa engkau tidak datang meminta yang lebih engkau sukai atau lebih baik dari hal itu?” Kemudian beliau memberi isyarat kepada keduanya, bahwa jika keduanya hendak tidur, hendaklah bertasbih kepada Allah, bertakbir dan bertahmid dengan bilangan tertentu yang disebutkan kepada keduanya. Lalu akhirnya beliau berkata. “Itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu.”

Baca Juga: Saat Konflik Mendera Dalam Bahtera Keluarga

Ali tidak melupakan wasiat ini, hingga setelah istrinya meninggal. Hal ini disebutkan dalam hadits riwayat Muslim.

Oleh karenanya, ketika ada waktu, suami hendaknya berusaha membantu pekerjaan istri, semampu yang ia bisa.

Mengerjakan pekerjaan rumah bagi suami bukan berarti bertukar peran sebagaimana yang kita saksikan di dalam sinetron. Suami menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga, sementara istri duduk bermalas-malasan sambil bermain HP atau menonton TV. Karena salah satu tugas utama suami sebagai qowam keluarga adalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, seorang suami selayaknya menunjukkan bahwa ia siap membantu istrinya bila mampu. Bila belum mampu tunjukkan minat untuk membantu. Kehadiran suami saat istri sedang melakukan pekerjaan rumah saja terkadang sudah cukup membahagiakan istri. Apalagi ikut mengiris bawang atau memasukkan bumbu ke dalam air yang terjerang panas untuk mematangkan hidangan, sungguh momen yang berkesan.

Jika suami tidak dapat melakukan hal ini, setidaknya ia memberikan pujian kepada istrinya dan memberikan senyuman tanda keridhaan kepadanya. Ketika ada sedikit kekurangan dari apa yang dilakukan istri, maklumi saja, tak perlu memarahi apalagi sampai memaki. Wallahu a’lam.  

 

Oleh: Redaksi/Keluarga 

Lima Kaedah Penting Dalam Pernikahan

Ketika kita menghadiri resepsi pernikahan, ada satu ayat yang paling sering dibacakan oleh qari’ maupun pemberi tausiyah untuk memulai ceramah, yaitu surat ar-rum ayat 21.

Judul di atas disarikan dari firman Allah swt yang terdapat dalam surat Ar-Rum, ayat 21 :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

” Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mau berfikir.”

Meskipun singkat dan pendek, ayat tersebut mengandung pelajaran yang sangat banyak dan bermanfaat, dan selanjutnya bisa kita jadikan pedoman di dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Dari ayat di atas, paling tidak kita bisa mengambil lima kaedah.

Kaedah Pertama:

Bahwa pernikahan yang berlangsung antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah swt. Artinya bahwa semua pernikahan yang terjadi adalah atas izin Allah.

Perlu diketahui bahwa Allah swt telah menentukan taqdir setiap makhluk di dunia ini jauh sebelumnya yaitu 50.000 tahun sebelum diciptakan langit dan bumi ini, sebagaimana yang disebutkan dalam suatu hadist , bahwasanya Rosulullah saw bersabda,

“Pertama kali yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), Allah berfirman kepadanya ;”Tulislah ”, maka dia menulis taqdir segala sesuatu semenjak 50.000 tahun sebelum diciptakan langit dan bumi dan Arsy Allah di atas air.” (HR Muslim)

Hadist di atas menjelaskan secara tidak langsung bahwa pasangan kita telah ditentukan oleh Allah swt, jauh sebelum kita diciptakan di muka bumi ini. Dengan memahami hal ini para pemuda mestinya tak perlu galau atau berkecil hati ketika calon yang diidam-idamkan ternyata tak jadi menikah dengannya karena menikah dengan orang lain atau karena tidak disetujui oleh orang tua.

Kaedah Kedua:

Bahwa istri yang akan kita nikahi nanti adalah dari jenis kita sendiri, yaitu dari jenis manusia, bukan dari jenis jin atau malaikat. Ini merupakan rahmat Allah yang harus kita syukuri. Bayangkan kalau istri kita dari jenis jin, tentunya akan mendapatkan kesulitan untuk berhubungan dengannya.

Kaedah Ketiga:

Istri yang akan kita nikahi nanti adalah makhluk Allah yang diciptakan dari diri kita sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam as. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas bahwasanya ketika Adam tinggal di dalam Syurga sendiri, dia merasa kesepian. Dan ketika dia sedang tidur, diciptakanlah Siti Hawa dari tulak rusuknya yang pendek dari pinggang kirinya , agar Adam bisa merasa tenang berada di samping Siti Hawa. Inilah arti firman Allah swt :

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.” ( Qs Al A’raf : 189 )

Di dalam hadist Abu Hurairah ra bahwa Rosulullah saw bersabda :

 استوصوا بالنساء خيراً ، فإن المرأة خلقت من ضلع ، وإن أعوج ما في الضلع أعلاه ، فإن ذهبت تقيمه كسرته ، وإن تركته لم يزل أعوج ، فاستوصوا بالنساء  ، وفي رواية  المرأة كالضلع إن أقمتها كسرتها ، وإن استمتعت بها ، استمتعت وفيها عوج

“Berwasiatlah kepada perempuan dengan hal-hal yang baik, sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulak rusuk, dan sesungguhnya bagian yang bengkok dari tulang rusuk terdapat disebelah atas, , dan jika anda ingin meluruskannya, berarti anda akan mematahkannya, dan jika anda biarkan maka dia akan terus bengkok, maka berwasiatlah kepada perempuan.

Dan dalam riwayat lain disebutkan: ”perempuan itu bagaikan tulang rusuk, jika anda ingin meluruskannya, berarti anda akan mematahkannya, jika anda bersenang-senang dengannya, maka anda akan bersenang-senang dengannya, sedangkan dia masih dalam keadaan bengkok ”

Kaedah Keempat:

Salah satu fungsi dari pernikahan adalah mewujudkan ketenangan. Ketenangan yang di dapat seseorang dari pernikahan bisa diklasifikasikan menjadi tiga :

Pertama: Ketenangan Jiwa.

Di sini pernikahan adalah salah satu jalan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan ketenangan. Seorang laki-laki yang merasa capek dan penat karena seharian kerja mencari nafkah, ketika kembali ke rumah, tiba- tiba hatinya menjadi sejuk dan tenang, karena di depan pintu rumahnya telah disambut istrinya dengan senyuman. Di dalam pernikahan seseorang bisa membicarakan dengan pasangannya seluruh masalah-masalah yang dihadapinya di kantor, di pasar di sekolah maupun di tempat-tempat lainnya. Dengan leluasa masing-masing dari suami istri mengeluarkan unek-uneknya dengan hati dalam suasana yang tenang dan penuh rasa kekeluargaan.

Baca Juga: 3 Manfaat Nikah Muda 

Hal yang demikian ini jelas akan berdampak pada ketenangan jiwa. Karena masing-masing telah mendapatkan tempat untuk mengadukan segala problematika hidupnya. Ketenangan jiwa seperti ini akhirnya akan membawa pada ketenangan jasmani.

Kedua: Ketenangan Jasmani.

Seseorang yang selalu dirundung kesedihan di dalam hidupnya, akan melemahkan kesehatan jasmaninya.

Dalam kehidupan ini ada suatu kaedah : bahwa sesuatu yang berhenti dan tidak dialirkan, maka akan merusak. Air yang tergenang akan merusak, tapi jika dialirkan akan bermanfaat karena akan membentuk energi yang bisa menyalakan lampu. Demikian juga air mani yang tersimpan lama dalam tubuh seseorang dan tidak disalurkan akan menyebabkan penyakit.

Ketiga: Ketenangan Materi.

Orang yang menikah akan mendapatkan ketenangan materi. Ketenangan materi ini terwujud dalam tiga hal :

Allah swt telah berfirman :

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui ” (Qs. An Nur: 32) .

Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa orang yang mau menikah dengan niat mencari ridha Allah dan menghindari maksiat, maka Allah berjanji akan memberikan karunia kepada mereka dengan rizki yang halal. Dan kita sebagai orang Islam harus berkeyakinan seperti yang disebutkan Allah di dalam ayat di atas.

Selain itu, kalau ditinjau dari ilmu psikologi dan sosiologi, maka akan kita dapatkan seorang laki-laki yang sepanjang hidupnya, hidup dalam kemiskinan, ketika menikah tiba-tiba menjadi lebih kaya dari sebelumnya. Kenapa ? Karena dengan menikah, dia dituntut untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Kewajiban tersebut menuntutnya untuk bekerja keras. Selain ia mendapatkan pahala karena bekerja untuk memberikan nafkah keluarganya, juga Allah akan melimpahkan rizki yang halal kepadanya, karena kesungguhannya. Allah berfirman :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

” Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ” (Qs. Al Ankabut: 69)

Kaedah Kelima:

Bahwa cinta yang tumbuh dalam pernikahan bukan sekedar cinta jasmani, atau cinta seorang laki-laki terhadap perempuan sebagaimana yang dipahami orang selama ini. Bukan pula seperti cinta seorang pacar dengan pacarnya yang sekedar janji dan ungkapan mulut tanpa ada komitmen di dalamnya. Cinta dalam pernikahan adalah cinta yang dibangun diatas mawaddah dan rahmah (kasih dan sayang). Artinya cinta tersebut diiringi dengan tanggung jawab dan komitmen. Seorang suami yang mencintai istrinya, maka dia bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidupnya, dia harus menjaga kesehatannya, menjaga keamanannya, menjaga perasaannya, dan menjaganya supaya tetap selalu bahagia hidup bersamanya.

Baca Juga: Hukum Nikah Sirri Dalam Islam

Cinta dalam pernikahan bukan berarti dia pasti mencintai semua yang ada pada diri pasangannya, karena seperti ini adalah sesuatu yang mustahil. Masing-masing dari pasangan suami istri akan mendapatkan kekurangan dari pasangannya. Secara naluri manusia, dia akan membenci kekurangan tersebut, Cuma dia harus bersabar dengan kekurangan itu. Dia harus berusaha bagaimana kekurangan yang dimiliki pasangannya tetap membuatnya cinta dan sayang kepadanya. Maka dalam surat An Nisa’ ayat 19 , Allah berfirman :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

”Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk menggauli dan bersikap dengan istri kita secara patut dan baik, walaupun kita membenci sebagian sifat atau bagian dari badannya. Inilah yang dinamakan mawaddah dan rahmah, yaitu cinta kasih sayang yang diiringi dengan komitmen dan tanggung jawab serta kesabaran untuk menerima segala kekurangan. Maka sangat tepat kalau Allah menyebut bahwa dalam pernikahan bukan sekedar ”hubb” (cinta jasmani), akan tetapi lebih daripada itu, yaitu mawaddah wa rahmah (cinta kasih sayang dan komitmen). 

 

Oleh: Redaksi/Nikah